Sabtu, 02 April 2011

Laskar Pelangi


Judul           :  Laskar Pelangi
Pengarang : Adrea Hinata
Penerbit     : Penerbitan Bentang
Cetakan       : Ketiga 2006
Tebal            : Xviii + 534 halaman
Novel ini menceritakan tentang begitu besarnya semangat pendidikan di sebuah desa terpencil diamana ada sekelompok anak yang ingin sekali menuntut ilmu ditengah masyarakat yang tidak begitu peduli dengan pendidikan.
Langsung saja:
Sinopsis Laskar Pelangi
Sebuah pulau didekat pulau Sumatra yaitu pulau Bangkablitung dimana pulau ini terkenal dengan kekayaan alamnya yaitu Timah, tetapi dengan kekayaan ini kemudian dijadikan tampat eksploitasi oleh negara lain. Disini terdapat sebuah sekolah yang sangat sulit mencari siswanya, sekolah ini dianggap tertinggal dari sekolah-sekolah lain yang menyababkan sekkolah ini diberis peringatan atau sejenis ultimatum untuk memiliki minimak 10 orang siswa agar sekolah ini tidak ditutup.
Disekolah yang kondisinya sangant tidak layah ini memiliki beberapa staf pengajarnya yaitu Pak Harfan sebagai kepala sekolah dan satu guru pengajar yaitu Ibu Muslimah, dengan SD yang bernama SD Muhammadiyah. SD ini merupakan SD islam pertama di Bangkablitung. SD ini dianggap tidak bisa bersaing dengan sekolah-sekolah lain di pulau Bangkablitung.
Sampai SD Muhamadiah memiliki murid yang berjumlah 11 orang yang memiliki semangat belajar yang cukup tinggi. Meskipun guru mereka tidak memiliki penghasilan tinggi tetapi melihat semangat dan cita-cita muridnya ia pun rela mengajar seadanya demi cita-cita 11 muridnya.
Persaingan SD MUhammadiyah dengan SD PN TIMAH yang merupakan sekolah favorit dan diisi oleh kalangan berada adalah sebagian kisah dari kisah utama laskar pelangi dalam membina kekompakan. Satu yang cukup menjadi notable moments adalah ketika mereka harus bersaing saat karnaval 17 Agustus 1979 yang diadakan oleh pihak TIMAH ,  belajar demi masa depan, dan ke tegaran Bu Mus dalam membimbing mereka, apalagi setelah ditingal Pak Harfan meninggal. Anak-anak ini diuji dengan berbagai macam cobaan demi kelangsungan sekolah tempat mereka menimba ilmu.
Tokoh dalam cerita
- Lintang   : adalah seorang anak cerdas yang dididik oleh kerasnya alam
- Ikal           : adalah seorang anak yang selalu ingin tahu, selalu berusaha belajar
- Mahar    : seperti seniman dengan gaya yang flamboyan dan radio butut di lehernya adalah sosok yang membuat semua kekakuan jadi cair
- Sahara     : sebagai wanita tercantik
- A Kiong  : pengikut setia Mahar
- Syahdan & Trapani  : sebagai laki-laki yang tampan
- Harun     : seorang anak yang selalu percaya diri
- Borek      : berlaga seperti samson
- Flo            : sebagai anak perempuan tomboy
- Pak Harfan : sebagai kepala sekolah
- Bu Muslimah : sebagai guru sekaligus walikelas

Agenda


- Bulanan : Pelatihan menulis untuk anggota
- 6 Bulanan : Lomba menulis (Puisi, cerpen, jurnaistik)
- Tahunan : Seribu Pena

Jumat, 01 April 2011

Menulis, Satu-satunya Cara agar Tetap Waras

Clara Ng mulai mengambil tempat sebagai penulis berbakat sejak novel pertamanya, Tujuh Musim Setahun, diterbitkan tahun 2002. Ia kemudian melaju dengan menjadi pelopor novel-novel metropop, dua tahun kemudian. Clara memang tidak melulu menulis novel dewasa, tetapi juga menulis buku anak-anak. Sebagai penulis penuh (full time writer) juga menyebar cerpen-cerpennya di berbagai media nasional. Saat orang keranjingan Twitter, Clara, bersama sastrawan Agus Noor dan Eka Kurniawan, malah membuat @fiksimini. Kini akun itu sudah memiliki lebih dari 57.777 followers.
Salah satu alasan Clara menulis adalah karena ia tidak abadi, tapi ceritanya imortal.
Clara Regina Juana (alias Clara Ng), kok berani sekali Anda menulis ”karya sastra”?! Apa yang mendorong keberanian Anda untuk menulis?
(Budi Susilo, Sleman)
Budi Susilo, tahu definisi ”berani” di kamus saya?! Keberanian saya adalah kegentaran saya terhadap hidup. Saya rasa, kalau ingin selalu aman sentosa dan terbebas dari rasa takut, tidak usah menulis fiksi! Menjadi penulis fiksi membutuhkan keberanian untuk berhadapan dengan diri sendiri, meneruskan penceritaan, dan terakhir, bertanggung jawab kepada masyarakat.
Obsesi saya adalah menulis, dan saya punya mimpi besar akan mengarang sebuah novel terkenal suatu saat nanti. Kira-kira apa yang harus saya persiapkan untuk novel tersebut? Terkadang imajinasi saya terhenti saat menulis, apa yang harus saya lakukan untuk itu?
(Bagus Supriadi, xxxx@yahoo.co.id)
Saya sering bertemu dengan orang-orang yang mengaku ingin menulis cerita dahsyat. Tapi ternyata saya sangat jarang menemukan yang ”benar-benar” melakukannya dibandingkan dengan yang ”ingin”. Penulis adalah orang yang menulis, jadi kalau seseorang tidak menulis, berarti dia bukan penulis. Karya tak bisa dihasilkan hanya dengan berpikir atau berangan-angan tentang menulis, tapi karya dihasilkan dengan benar-benar bekerja. Maka. nyalakan komputer dan mulailah mengetik cerita. Inspirasi akan mengalir lancar saat mulai menulis.
Salut deh buat Mbak yang jago banget menulis. Dari dulu saya pengin banget bisa menulis minimal cerpen, tapi selalu gak berhasil. Kalo boleh tau, apa sih rahasianya? Menurut Mbak, sebaiknya pada umur berapa kita mengenalkan dunia tulis-menulis ini kepada anak-anak?
(Peggy Dianita, Jakarta, xxxx@gmail.com)
Halo Peggy, terima kasih. Bagi saya, menulis bukan beban, jadi semangat saya tidak didasari target. Saya sudah cukup bahagia apabila saya memberi kesempatan kepada diri untuk membuka keran ide di kepala dan mengalirkan kata-kata. Sebab, tanpa menulis, saya merasa kepala saya terlalu penuh dan mampet. Anak-anak harus dibiasakan menulis sejak dini, sejak mereka mulai belajar membaca dan merangkai kata. Dengan menulis, anak-anak diajarkan untuk lebih pandai berbahasa dan mengungkapkan perasaan/gagasannya, juga menjadi komunikator yang baik kepada sesamanya.
Bagaimana proses kreatif yang Anda lakukan untuk menghasilkan suatu karya sastra?
(Gagat Rahina, xxxx@gmail.com)
Ciri khas penulis yang baik pasti memiliki kenikmatan menjadi pengamat di tengah keramaian dan menjadi penyendiri di saat benar-benar sendiri. Nah, sebenarnya seperti itulah awal mula proses kreatif saya. Selanjutnya, sorang penulis juga mempunyai sikap-sikap kemandirian yang sangat kuat (untuk mulai menulis) dan menjadi ”orang lain” di dalam ceritanya.
Clara sudah banyak sekali menulis berbagai macam buku, bahkan sampai buku anak-anak, namun saya belum menemukan buku yang berbau misteri/detektif dari Clara. Apakah ada rencana membuat buku jenis tersebut?
(Yudiari, Denpasar, xxxx@yahoo.com)
Saya bersyukur diberi kesehatan dan kemampuan menulis berbagai macam fiksi. Tak lupa berlega hati karena mendapat kesempatan melenturkan otot-otot imajinasi saya. Marilah kita bersama-sama bersabar sebab mungkin saja suatu hari saya dijerat Malaikat Fantasi sehingga bisa kalap menuliskan dongeng- dongeng detektif yang beraroma misterius itu?
Saya tahu Anda sekarang giat memopulerkan fiksimini. Bagaimana nih asal-usulnya sampai Anda terlibat dengan fiksimini?
(Martha Pratana, xxxx@gmail.com)
Akun @fiksimini adalah komunitas membaca/menulis sastra yang dimulai di Twitter. Saya terlibat di komunitas ini pada suatu malam di bulan Maret 2010, seratus persen dibimbing oleh takdir. Takdir saya seperti takdir seekor hiu yang selalu tergoda dengan setetes darah. ”Darah” yang saya maksud di sini adalah dunia literatur dengan segala kemasannya yang aduhai.
Bagaimana cara seorang Clara Ng mendapatkan atau menciptakan ide kreatif dalam menulis cerita? Saya rasa kalau novel The (Un)Reality Show atau Jampi-jampi Varaiya diangkat ke layar lebar akan menarik. Sukses terus, juga buat Twitter @fiksimini-nya!
(Fandy Novriandy, xxxx@gmail.com)
Atas nama komunitas @fiksimini, saya berterima kasih! Ide- ide kreatif sebenarnya hanya sekadar ide biasa apabila tidak dikembangkan menjadi cerita. Tidak ada pengarang satu pun yang mampu menghasilkan karya tanpa bekerja keras. Semakin giat menulis, maka semakin piawai pula menemukan ide-ide kreatif. Oleh karena itu, rajin-rajinlah menulis dan menajamkan mata batin. Semoga pembuat film membaca suratmu dan mengangkat The (Un)Reality Show dan Jampi-jampi Varaiya ke layar lebar. Salam, sukses juga buatmu!
Hai Clara! Novel pertama kamu terbit setelah kamu pulang kuliah dari AS. Apakah lingkungan AS dan pendidikan di sana relatif memengaruhi kreativitas dan semakin membuat kamu lebih percaya diri menjadi penulis?
(Tonnio Irnawan, Jakarta Timur)
Saya menerbitkan novel pertama kali karena saya memiliki waktu luang yang (lebih) leluasa untuk menulis prosa panjang di Indonesia. Untuk menjadi penulis, rasa percaya diri saya tidak didongkrak dari pengalaman hidup di AS. Walaupun kehidupan kampus di Amerika memperkaya batin dan wawasan, saya memasuki dunia fiksi Indonesia dari nol. Saya menjadi penulis yang semakin percaya diri dan bersyukur sebab dalam proses kepengarangan saya, saya berhasil menghasilkan cerita yang (semakin) menarik dan menata kata-kata dengan (semakin) elok. Sejujurnya, saya masih butuh asupan rasa percaya diri yang lebih banyak, apalagi jika melihat karya-karya teman-teman penulis lain yang menggelegar.
Teteh Clara, apa pendapat Teteh mengenai fanfiction? Apa sumbangan/keburukannya pada dunia tulis-menulis kita? Hatur nuhun!
(Ambu Dian, Bandung)
Percaya atau tidak, saya pernah menulis fanfiction panjang sebanyak lima ratus halaman, beberapa cerita pendek fanfiction, memenangi perlombaan fanfiction kecil-kecilan, dan bergabung dengan komunitas fanfiction. Saya belajar banyak saat itu. Tidak ada salahnya mengasah keterampilan menulis dengan mengarang fanfiction. Jangan lupa meletakkan claim yang menyertakan nama penulis asli di karya fanfictionmu! Sawangsulna, Ambu!
Apa yang membuat Anda menyukai dunia kepenulisan? Saya salah satu follower Anda di Twitter @clara_ng, apakah inspirasi menulis datangnya dari twit-twit Anda di Twitter?
(Helvry Sinaga, Jakarta)
Saya menyukai dunia kepenulisan karena sejujurnya hanya dunia itulah yang paling setia dan tak pernah berpaling dari saya. Saat hidup saya terus maju dan berproses, beberapa kegiatan dan aktivitas saya di bidang-bidang lainnya menjadi longgar dan membosankan, hanya dunia menulis yang tak pernah letih memuaskan dahaga saya. Terima kasih sudah menjadi follower saya di Twitter dan betah mendengarkan kicauan saya setiap hari.
Saya sangat menyukai karya- karya Anda. Dalam beberapa karya Anda, tergambar romantisme cinta pasangan dengan jenis kelamin yang sama. Hal ini masih tabu di masyarakat Timur seperti Indonesia. Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini dan apa sikap Anda terhadap homofobia?
(Regina, Jakarta)
Terima kasih atas pujiannya, Regina. Bagi saya, menulis adalah jalan pedang dan pedang yang saya maksud di sini sebagai filosofi hidup dan simbol pemahaman. Ini adalah semacam panggilan jiwa saya untuk membenahi dan membela kaum yang dibungkam, sekecil dan sesederhana apa pun usaha saya. Homofobia adalah bagian dari masalah SARA; penting untuk diedukasikan ke tengah masyarakat.
Saya sudah mempunyai novel Anda, Indiana Chronicle. Novel yang sangat saya suka! Bagaimana Anda bisa membuat novel itu menjadi sangat segar dan bisa membuat saya terus menangis?
(Dahlia Kusumaningrum, Yogyakarta)
Penulis yang baik akan membawa pembaca untuk menangis, tertawa, dan bergembira. Saya senang Anda menyukai karya saya. (ush)

sember : kompas.com

Menulis dengan Tangan Baik untuk Otak

Fungsi pena kini banyak digantikan dengan papan ketik (keyboard). Padahal, terbiasa mengetik dengan keyboard berpengaruh pada menurunnya aktivitas otak yang berperan besar dalam fungsi pembelajaran.
Menulis dengan tangan diketahui menimbulkan pengalaman sensorik yang sangat berbeda dengan kegiatan mengetik. Kedua kegiatan itu ternyata mengaktifkan dua bagian otak yang berbeda juga.
"Tubuh kita didesain untuk berinteraksi dengan dunia di sekeliling kita. Kita memiliki 'alat' untuk menggunakan obyek fisik untuk mengerjakan tugas, misalnya buku atau pena," kata salah satu peneliti Anne Mangen dari University of Stavangers Reading Centre, Norwegia.
Dalam serangkaian tes yang dilakukan Mangen dan timnya, diketahui aktivitas menulis dengan tangan akan meninggalkan jejak "memori motor" di bagian otak yang disebut sensorimotor. Proses ini akan mendorong kemampuan visual dalam mengenal huruf dan angka. "Meski terkesan dua hal yang berbeda, sebenarnya menulis dan membaca saling berkaitan," kata Mangen.
Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Advances in Haptics. Haptics sendiri mengacu pada sensasi menyentuh dan cara berkomunikasi dan mengeksplorasi lewat sentuhan.
Dalam penelitiannya, kelompok partisipan dibagi dalam dua kelompok, yakni orang yang menulis dengan tangan dan orang yang mengetik lewat keyboard. Kemudian mereka diminta mempelajari alfabet yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Ternyata orang dari kelompok yang menulis dengan tangan memiliki hasil yang lebih baik dalam tes dibanding orang yang mengetik di keyboard.
Hasil pemindaian otak juga menunjukkan orang yang menulis dengan tangan, bagian otak yang disebut broca lebih aktif. Bagian otak ini berkaitan dengan kemampuan berbahasa. Kerusakan di bagian otak ini, misalnya akibat kecelakaan, bisa menyebabkan seseorang sulit berbicara.
sumber : kompas.com

Menulis Cepat? Bagaimana Caranya?

Banyak teman yang bertanya kepada saya bagaimana caranya menulis dengan cepat. Lalu saya jawab, bila Anda ingin menulis dengan cepat, menulislah seolah-olah Anda mengobrol dengan seorang lawan bicara. Anggaplah pembaca sebagai lawan bicara Anda karena dengan begitu kata demi kata meluncur dengan deras dari otak Anda yang cerdas itu.
Tak perlu malu dan ragu. Lekaslah menulis. Menulis cepat pada hakikatnya adalah kemampuan yang bisa dimiliki oleh setiap orang.
Setiap manusia memiliki kemampuan menulis dengan cepat. Anda bisa dan saya pun pasti bisa asalkan telah terbiasa melakukannya. Sebab, menulis cepat terjadi dari gerakan alam bawah sadar kita yang membuat tulisan itu akhirnya muncul. Persoalan dibaca atau tidak, itu urusan belakangan karena yang terpenting adalah sudah melakukan proses menulis cepat.
Dengan menulis cepat, banyak hal yang bisa Anda tuliskan. Meskipun demikian, harus ada tujuan dalam hati yang ditujukan untuk diri sendiri kenapa mau menulis.
Menulis dengan cepat dapat dilakukan dengan beberapa langkah ringan saja. Kondisi Anda rileks saja. Sebab, dalam keadaan rileks Anda seperti orang jenius, yaitu sebuah kondisi saat Anda merasakan semua hal yang ada di kepala tersalurkan dengan deras dalam kata-kata yang mengalir begitu cepat. Secepat Anda mengetik dengan menggunakan sepuluh jari tangan Anda.
Bagi Anda yang menggunakan sebelas jari, tak usah frustrasi. Caranya?
Ikuti irama kata hati Anda. Perlahan namun pasti, jari-jari tangan Anda itu akan menemukan huruf-huruf dengan mudahnya, sebab intuisi Anda berjalan dengan alamiah. Anda tak perlu lagi melihat letak huruf-huruf di papan tik karena secara naluriah dan alamiah tangan sudah tahu harus menjejakkan di huruf yang mana.
Menulis cepat itu pada dasarnya mudah, tak perlulah dibuat susah. Sesuatu akan menjadi mudah bila sudah terbiasa mengerjakannya dan alam bawah sadar Anda sudah bekerja dengan baik. Katakan dalam hati, "bisa!" maka secara otomatis alam bawah sadarmu mengatakan "bisa".
Menulis cepat, bagaimana caranya?
Caranya, lekas saja menulis dengan sebuah tujuan menyampaikan pesan kepada pembaca. Katakan kepada mereka bahwa menulis cepat itu mudah. Semudah melahap makanan di saat lapar karena kamu fokus dalam melakukannya. Intinya, setiap orang memiliki kemampuan menulis cepat, hanya saja belum semua orang dapat memunculkannya.
Perlu rangsangan atau stimulus yang membuat Anda terangsang seperti Anda mencium minyak wangi kesturi yang harum baunya dari seorang bidadari yang cantik jelita.
Jadi, setiap orang bisa menulis dengan cepat, secepat saya menuliskan artikel ini untuk Anda. Saya hanya memerlukan waktu semenit saja dan silakan mencobanya sendiri. Anda pasti bisa melakukannya.

Wijaya Kusumah, Dosen STMIK Muhammdiyah Jakarta dan Guru TIK SMP Labschool Jakarta
sumber: kompas.com

FORUM LINGKAR PENA SEJARAH, KONSEP DAN GERAKAN [1]



 oleh : Helvy Tiana Rosa[2]

 
Abstrak

Forum Lingkar Pena adalah komunitas (calon) penulis yang didirikan 22 Februari 1997. Dalam sepuluh tahun perkembangannya, FLP menjadi wadah ribuan orang untuk mengasah diri sebagai pengarang/ penulis, menerbitkan lebih dari 600 buku, bekerjasama dengan tak kurang dari 30 penerbit, dan membuka cabang di  dari 125 kota di Indonesia dan manca negara, seperti Singapura, Hong Kong, Jepang, Belanda, Amerika, Mesir, Inggris, dll. Para aktivisnya kemudian mendirikan Rumah- Rumah Cahaya (Rumah baCA dan HAsilkan karYA) di setiap sekretariat cabang FLP. Tak hanya menyentuh kalangan intelektual, FLP menjadi wadah gerakan para ibu rumah tangga, buruh, anak jalanan,  hingga pembantu rumah tangga.  Ada pula FLP Kids yang ditujukan bagi anak-anak dan menjadi motor bagi bangkitnya kanak-kanak pengarang di negeri ini. FLP membuat menulis dan bersastra tak lagi menjadi kegiatan ekslusif milik kaum cendekia. FLP menjadi satu-satunya organisasi pengarang yang berhasil membentuk rantai tak putus antara  pengarang-penerbit-pembaca-pengarang.
Makalah ini akan mengetengahkan sejarah, konsep, gerakan FLP di Indonesia dan mancanegara.

Pendahuluan
Forum Lingkar Pena sangat fenomenal. FLP adalah hadiah Tuhan untuk Indonesia (Taufiq Ismail)[3]
Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, jumlah penulis di Indonesia—sebagaimana jumlah pertumbuhan penduduknya--sangat besar. Pada dekade terakhir Indonesia diramaikan oleh munculnya penulis muda berusia di bawah 30 tahun serta maraknya pertumbuhan kantong-kantong sastra di Jakarta dan di banyak kota besar lainnya.
Salah satu yang dianggap fenomenal adalah munculnya Forum Lingkar Pena (FLP), tahun 1997. Dalam waktu yang relatif singkat, organisasi yang memiliki cabang di hampir 30 propinsi dan di mancanegara ini telah beranggotakan sekitar 5000 orang, hampir 70% anggotanya adalah perempuan. Dari jumlah ini, 700 diantaranya menulis secara aktif di berbagai media. Mereka berusaha membina 4300 anggota FLP lainnya untuk menjadi penulis pula. Selama sepuluh tahun keberadaannya, organisasi penulis ini telah menerbitkan lebih dari 600 buku yang sebagian besar terdiri dari karya fiksi maupun non fiksi untuk dewasa, remaja dan anak.
Tidak ada orang atau lembaga yang mensponsori FLP. Kemandirian tersebut memungkinkan FLP menulis sesuai kata hati. Koran Tempo, salah satu media  berwibawa di Indonesia, menyebut FLP sebagai sebuah ‘Pabrik Penulis Cerita’!

Sejarah Berdirinya FLP
Tahun 1997 saya mengajak Asma Nadia, Muthmainnah serta beberapa teman dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia bertemu di Mas­jid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia. Pertemuan berlanjut dengan diskusi tentang minat membaca dan menulis di kalangan para remaja Indonesia. Percakapan tersebut sampai pada kenyataan semakin mendesaknya kebutuhan masyarakat akan bacaan yang bermutu. Di sisi lain sebenarnya banyak anak muda yang mau berkiprah di bidang penulisan, tetapi potensi mereka kerap tak tersalurkan atau intensitas menulis masih rendah, di antaranya karena tiadanya pembinaan untuk peningkatan kualitas tulisan. Lebih dari itu, semua yang hadir menyadari betapa efektifnya menyampaikan gagasan melalui tulisan.
Akhirnya yang hadir sepakat untuk membentuk organisasi kepenlisan. Maka pada tanggal 22 Februari 1997 berdirilah Forum Lingkar Pena, sebagai badan otonom Yayasan Prima[4], dan saya terpilih sebagai Ketua Umum. Saat itu anggotanya hanya 30 orang saja. Kami pun mengadakan acara rutin pekanan dan bulanan berkaitan tentang penulisan untuk anggota, dengan mengundang beberapa pakar di bidang tersebut. Kami mengadakan bengkel penulisan  kecil-kecilan.
Tahun 1998, seorang penulis muda dari Kalimantan Timur: Muthi Masfufah, mendirikan FLP Wilayah Kalimantan Timur yang berpusat di Bontang serta cabangnya di Samarinda, Balik Papan, Tenggarong dan kemudian Sangata. Inilah kepengurusan wilayah pertama dalam sejarah FLP. Pada tahun 1999, mulai banyak permintaan dari daerah, untuk membentuk kepengurusan FLP di tiap provinsi.
Majalah Annida—sebuah majalah fiksi Islami bertiras sekitar seratus ribu eksemplar perbulan—yang saya pimpin pada waktu itu, menjadi salah satu sarana bagi munculnya karya-karya anggota FLP. Majalah tersebut juga membuat rubrik khusus berisi info FLP dan menjadi sarana merekrut anggota baru. Yang mengejutkan, lebih dari 2000 orang mendaftar menjadi anggota melalui Annida. Ditambah lagi, sampai tahun 2003, berdasarkan masukan dari tiap wilayah, tak kurang dari 3000 orang telah mendaftarkan diri pula melalui berbagai acara yang digelar oleh perwakilan-perwakilan FLP di seluruh Indonesia dan mancanegara.
Dari jumlah itu, sekitar 700 adalah penulis aktif. Mereka tinggal di lebih dari 125 kota di Indonesia. Banyak di antara mereka meraih penghargaan dalam berbagai lomba penulisan tingkat provinsi, nasional bahkan internasional. Sekitar 75% penulis majalah Annida, bergabung dalam FLP. Lalu ada pula sekitar ratusan pengelola dan penulis buletin atau media kampus. Kebanyakan anggota FLP adalah pelajar dan mahasiswa. Ada juga pegawai negeri, karyawan swasta, buruh, ibu rumah tangga, guru, petani,  dan lain-lain.
FLP adalah organisasi inklusif. Keanggotaannya terbuka bagi siapa saja tanpa memandang ras maupun agama.[5] Mayoritas anggota FLP memang muslim, namun tingkat pemahaman keislaman mereka tidak seragam. Banyak pula non muslim yang bergabung. Meski demikian para anggota FLP memiliki niat yang sama: membagi seberkas cahaya bagi para pembaca dan menganggap kegiatan menulis adalah bagian dari ibadah.
Anggota FLP termuda saat ini berusia 4 tahun dan tertua 69 tahun. "Muda" dalam FLP lebih ditekankan pada aspek semangat, bukan usia, meski kebanyakan anggota FLP memang berusia sekitar 15-25 tahun. Namun sejak awal tahun 2004, beberapa FLP wilayah, antara lain DKI, Jawa Barat dan Kaltim membuka “FLP Kids” untuk anak berusia 5-12 tahun.
Banyak penulis muda dan calon penulis yang kemudian menjadi pengurus FLP di tingkat propinsi pada masa awal,. Di daerah-daerah yang belum ada kepengurusan, selalu terdapat koresponden FLP.
Teman-teman yang tengah melanjutkan pendidikan atau tinggal di luar negeri pada waktu itu, kemudian membuka kepengurusan FLP atau paling tidak menjadi koresponden FLP di negara tersebut seperti Muthmainnah (Inggris), A Rifanti (Amerika Serikat), Hadi Susanto (Belanda), Ikhwan Arifin (Sudan), Ummu Itqon (Canada), Femina Sagita (Jepang), Sera Revalina (Singapura), Ahmad Muhajir (Korea), Lulu Naning (Pakistan), dan banyak lagi yang lainnya. Habiburahman El Shirazy dan Fera Andriani Jakfar (Mesir) juga membentuk kepengurusan FLP Mesir dan sering bekerja sama dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Organisasi Satuan (istilah lain untuk cabang –penulis) Mesir. Yang lebih mengharukan, para TKW Indonesia di Hongkong, mendirikan pula FLP Hongkong, 16 Februari 2004. Semua anggotanya adalah pembantu rumah tangga. Kini mereka telah menerbitkan beberapa buku secara perseorangan maupun kelompok. Buku-buku mereka sebagian besar mengangkat persoalan buruh migran perempuan.

 

Konsep Forum Lingkar Pena

Sebenarnya konsep apakah yang diusung oleh Forum Lingkar Pena dalam dunia kepengarangan di Indonesia?
Saya kira konsep tersebut dapat terlihat pada visi, misi dan program kerja FLP.
Visi FLP yaitu membangun Indonesia cinta membaca dan menulis serta membangun jaringan penulis berkualitas di Indonesia. FLP sepakat untuk menjadikan menulis sebagai salah satu proses pencerahan masyarakat/ummat.
Misi FLP di antaranya: (1) Menjadi wadah bagi penulis dan calon penulis, (2) Meningkatkan mutu dan produktivitas (tulisan) para anggotanya sebagai sumbangsih berarti bagi masyarakat, (3) Turut meningkatkan budaya membaca dan menulis, terutama bagi kaum muda Indonesia, (4) Menjadi organisasi yang turut membidani kelahiran penulis baru dari daerah di seluruh Indonesia.

Program Kerja FLP:

1.                  Mengadakan pertemuan rutin (bulanan) bagi para anggotanya dengan mengundang pembicara tamu dari kalangan sastrawan, jurnalis atau cendekiawan
2.                  Pelatihan penulisan mingguan
3.                  Mengadakan diskusi/seminar tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kepenulisan atau situasi kontemporer
4.                  Mengadakan bengkel-bengkel penulisan
5.                  Aktif mengirimkan tulisan ke berbagai media massa
6.                  Menerbitkan buletin dan majalah
7.                  Membuat skenario teater, sinetron, film, dan lain sebagainya
8.                  Kampanye Gemar Membaca dan Menulis ke SD, SMP, SMU, pesantren dan universitas di Indonesia secara berkala
9.                  Mengadakan berbagai sayembara penulisan untuk pelajar, mahasiswa dan kalangan umum
10.              Pemberian Anugerah Pena
11.              Pelaksanaan program Rumah Cahaya (Rumah baCA dan HAsilkan karYA) di berbagai tempat di Indonesia
12.              Kampanye "Sastra untuk Kemanusiaan" (Salah satunya dengan penerbitan Antologi Cinta, yaitu buku-buku yang ditulis bersama. Seluruh penjualannya diberikan pada program kemanusiaan)
13.              Menerbitkan minimal 10 buku karya para anggota perbulannya, dan lain-lain.

Sistem Pembinaan
Asas pembinaan bagi anggota-anggota FLP adalah kebersamaan, kontinuitas dan kompetensi. Kebersamaan berarti tidak mementingkan karya atau kemajuan diri sendiri, kontinuitas berarti secara kontinyu berkarya dan membina, serta kompetensi berarti setiap anggota akan berkarya sebaik mungkin, meningkatkan kualitas karya dan memiliki kejelasan arah serta tujuan dalam mencerahkan masyarakat.[6]
Dengan sistem keanggotaan yang berjenjang memungkinkan para anggota yang memiliki tingkat lebih tinggi memberikan pembinaan kepada anggota dibawahnya.  Jenjang keanggotaan tersebut terdiri dari anggota muda, madya dan andal. Anggota muda adalah mereka yang memiliki keinginan kuat, ketekunan untuk menulis namun belum memiliki pengalaman dan pengetahuan menulis. Anggota madya yaitu mereka yang telah menghasilkan karya di media massa lokal atau atau nasional atau pernah memenangkan sayembara penulisan tingkat daerah, namun belum cukup aktif menulis. Anggota andal yaitu mereka yang aktif menulis di berbagai media, telah membukukan karya-karyanya, pernah menjuarai sayembara penulisan tingkat nasional dan atau menjadi akademisi pada bidang sastra (kritikus) atau bidang komunikasi (jurnalistik), sering menjadi pembicara dalam berbagai acara yang berkaitan dengan penulisan.[7]
Selain sistem pembinaan yang berlapis, FLP juga menerapkan sistem rekomendasi bagi karya-karya penulis muda yang layak diterbitkan. Para anggota FLP yang telah  mempunyai nama, mengenalkan nama-nama lain – penulis FLP yang layak menerbitkan buku – setiap bertemu penerbit. Bentuk support yang lain adalah dengan memberikan endorsement di belakang karya-karya mereka, memberikan pengantar buku atau memberikan satu cerpen dalam antologi (kumpulan cerpen) bersama penulis-penulis baru. Dalam perkembangan selanjutnya, nama-nama yang ikut bergabung dalam antologi tersebut produktif pula menghasilkan karya-karyanya sendiri dan menjelma “mentor-mentor” baru yang kembali berkeliling sebagai relawan, turut membidani kelahiran penulis baru dan membantu menggodok penulis lain agar bisa meningkatkan kualitas karya mereka.[8]

FLP dan Sastra Bernuansa Islam

Karena FLP berawal dari majalah Annida, sebuah majalah fiksi Islami, maka FLP kerap diidentikkan sebagai komunitas yang mengusung jargon sastra Islami, meski secara resmi, FLP tak pernah mendeklarasikan hal tersebut.
Menurut Shauqi Dhaif, adab (sastra) adalah karya yang dapat membentuk ke arah kesempurnaan kemanusiaan, yang didalamnya terkandung ciri estetika dan kebenaran.[9]  Dalam Islam, sastra haruslah mendorong hasrat masyarakat untuk menjadi pembaca yang baik. Masyarakatlah yang menjadi target utama pemahaman kesusastraan. Jadi sastra Islam lebih kepada pembentukan jiwa.

Penilaian apakah karya tersebut dapat disebut sastra Islam atau bukan tidak dilihat pada karyanya semata, namun juga pribadi pengarang, proses pembuatannya hingga dampaknya pada masyarakat. Sastra bagi pengarangnya adalah ibadah, pengabdian yang harus dipertanggungjawabkan pada umat dan Allah. Bahrum Rangkuti bahkan pernah berkata :"Bila Anda ingin menulis karya sastra Islam, anda harus terlebih dahulu menjadi sastrawan yang beriman serta merealisasikan keimanan dan keislamannya melalui amaliyah yang nyata."[10]
Secara resmi, Komunitas FLP tidak pernah mengklaim bahwa karya-karya para anggotanya  adalah karya sastra Islam. Memang banyak di antara anggota yang (mencoba) menulis karya sastra bernuansa Islami atau sastra Islami, namun apakah benar karya mereka adalah sastra Islam atau Islami atau apapun, bagi FLP bukan menjadi persoalan. Yang penting bagaimana karya-karya tersebut mengambil bagian dalam proses mencerahkan para pembacanya. Di sini peran sastra yang sebenarnya diinginkan oleh Islam yaitu turut mengambil bagian dalam mengatasi kerusakan akidah dan ahlak masyarakatnya.[11] 
Dengan demikian, para anggota FLP, baik yang muslim maupun non muslim secara tak tertulis bersepakat untuk:
1.  Menulis demi kemaslahatan, tanpa mengabaikan estetika.
Artinya, karya anggota FLP selalu dalam kerangka kebaikan dan manfaat. Karyanya tidak akan (tidak boleh) menambah buruk keadaan masyarakatnya.
2. Bertanggung jawab atas apa yang ditulis (pengarang tak pernah mati).
Seluruh anggota FLP bertanggung jawab atas karya mereka bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Pada saat karya tersebut menjadi “milik publik”, pengarang tetap “hidup” dan siap bertanggung jawab atas karyanya. Teks dan pengarang menjadi suatu kesatuan yang sukar untuk dipisahkan.
3. Pengarang sebagai teladan masyarakat
Menurut Maman S. Mahayana dan Joni Ariadinata, ketika masyarakat masih terperangkap pada pandangan bahwa dunia sastra dan kehidupan sastrawannya adalah dunia yang penuh kebebasan, urakan, eksentrik, dan berbagai pandangan buruk lainnya, FLP menampilkan diri dengan citra yang sebaliknya. Di sinilah keteladanan menjadi penting dalam membangun citra sebuah organisasi atau komunitas.[12]
Tentang penulis-penulis FLP, Sunarwoto mengungkapkan sebagai berikut :
‘… karya mereka sebenarnya tidak jauh beda dengan cerpen-cerpen Indonesia kotemporer yang sudah ada. Sarat dengan tema sosial, budaya, adat, cinta dan semangat penentangan terhadap rezim yang korup. Bedanya, mereka lebih suka membungkus karyanya dengan diksi-diksi yang lembut, santun dan mendidik. Tak ada sepotong narasi dan dialog pun yang muncul dengan bahasa kasar. Juga tidak begitu murahan mengumbar kecabulan…”[13]

Gerakan Pesat Meski Minim Dana
Meski minim dana[14], kegiatan-kegiatan FLP tak pernah berhenti. Hampir setiap minggu ada saja acara kepenulisan yang diadakan oleh FLP, baik pada kepengurusan pusat, wilayah (propinsi), cabang (kota, kabupaten) atau ranting.[15] Saya sendiri hampir tiap minggu harus ke luar provinsi untuk menghadiri acara-acara yang diadakan FLP di sana.
Untuk program penerbitan buku FLP telah bekerja sama dengan para penerbit seperti Syaamil (Bandung), Mizan (Bandung), Era Intermedia (Solo), D & D Publishing House (Solo), Lapena (Banda Aceh), Pustaka Annida (Jakarta), FBA Press (Depok), Gunung Agung (Jakarta), Pustaka Ummat (Bandung), Zikrul Bayan (Jakarta), Ghalia (Jakarta), Gramedia (Jakarta), Senayan Abadi (Jakarta), Wisata Hati (Jakarta), Cakrawala (Jakarta), MVP (Solo), Indonesia Tera (Magelang), Hikmah (Jakarta), Cinta (Jakarta), dan masih banyak lagi. Tahun 2003 bersamaan dengan terbentuknya Yayasan Lingkar Pena yang menjadi badan hukum FLP[16], FLP membuat penerbitan sendiri yang diberi nama: Lingkar Pena Publishing House.
Selama sepuluh tahun keberadaan FLP, sekitar 600 buku karya rekan FLP terbit dan pemasarannya tergolong bagus. Karena itu kini semakin banyak penerbit dari berbagai kalangan yang  mengajak FLP bekerjasama dalam usaha penerbitan buku.
Uniknya, rekan-rekan muda FLP di beberapa propinsi juga mengumpulkan naskah dan menerbitkan buku karya para penulis daerah mereka. Misalnya buku Doa Untuk Sebuah Negeri karya FLP Aceh (Syaamil, 2001), Atas Nama Cinta, karya FLP Bandung (Syaamil, 2000) atau Salsa Tersayang (Syaamil, 2000) dan Tarian Sang Hudoq (Syaamil 2002), karya FLP Kalimantan Timur, Kucing Tiga Warna karya FLP Sumatera Selatan (Syaamil, 2002), Jatuh Cinta Pada Bunga karya FLP Surakarta (Era Intermedia, 2002), Karma Sang Srigala karya FLP Semarang (Era Intermedia, 2002), Lihatkan Bintang Untukku karya FLP Yogyakarta (Mizan, 2003), Surga yang Membisu karya FLP Depok (Zikrul Hakim, 2003), Kutemukan Warna karya FLP Mesir (Mizan, 2003) dan masih terlalu banyak untuk disebutkan.
Cermin dan Malam Ganjil (FBA Press, 2002) adalah antologi cerpen bersama FLP yang didedikasikan bagi sastrawan senior Yusakh Ananda. Seluruh honor pengarang diserahkan langsung saat milad (ulang tahun –penulis) FLP tahun 2002 lalu, kepada Ibnu HS (Ketua FLP Kalimantan Barat), mewakili Sastrawan Yusakh Ananda (waktu itu 68 th).
Sebelumnya FLP juga membuat kumpulan cerpen bersama: Ketika Duka Tersenyum (FBA Press, 2002) yang seluruh penjualannya didedikasikan bagi Pipiet Senja, pengarang prolifik pengidap thalassemia. Buku lainnya: Doa untuk Sebuah Negeri (Syaamil, 2000) adalah karya para perempuan pengarang FLP Aceh yang berusia 18-28 tahun. Buku tersebut didedikasikan bagi para anak, janda dan pengungsi Aceh. Buku Merah di Jenin (FBA Press, 2002) yang merupakan 'keroyokan' para pengarang FLP nusantara juga FLP Mesir didedikasikan bagi anak-anak Palestina. Meski bukunya baru diluncurkan, FLP menyumbangkan seluruh royalti buku untuk anak-anak Palestina tersebut, melalui MER-C (organisasi bantuan medis sukarela –penulis).
Bekerjasama dengan lima penerbit, FLP memprakarsai gerakan “menyumbang dengan cerpen”, yaitu penggalangan dana bagi korban gempa-tsunami di Aceh dengan cara menyumbang cerpen. Alhamdulillah langsung terkumpul dana 40 juta dimuka, untuk lima buku yang kemudian diterbitkan. Penerbitan buku-buku seperti itu menjadi salah satu bagian dari program kampanye "satra untuk kemanusiaan" yang akan terus dilakukan FLP melalui “antologi cinta”.
Di luar hal tersebut, kini di setiap kota yang memiliki cabang FLP, secara bertahap mulai didirikan Rumah-rumah Cahaya (rumah baCA dan HAsilkan karYA). Tempat tersebut bukan sekadar taman bacaan, melainkan juga tempat latihan menulis—gratis--bagi kalangan tak mampu. Rumah Cahaya FLP Aceh bahkan menjadikan membaca dan menulis sebagai salah satu bentuk terapi bagi korban DOM dan tsunami.

FLP yang Fenomenal
Berbagai pendapat muncul tentang FLP dalam kaitannya dengan kesusastraan Indonesia kontemporer. Dari segi pembinaan banyak pihak yang menyatakan salut terhadap upaya yang dilakukan FLP. Namun dari segi kualitas karya sebagian besar rekan FLP memang masih dianggap para kritikus sastra sebagai pemula yang akan terus bermetamorfosis.[17]
 Perlu disadari bahwa hampir semua anggota FLP pada awalnya hanyalah calon penulis, bukan penulis/sastrawan yang sudah jadi. Para anggota FLP juga tidak tumbuh bersama sejumlah nama besar yang menempel di belakangnya.  Jadi ketika dari belum bisa menulis, kemudian mereka menulis dan mampu menerbitkan buku (rata-rata pada usia bawah 25 tahun), bukankah itu suatu pencapaian yang luar biasa? Kita mengharapkan mereka terus belajar, berproses menjadi penulis yang lebih berkualitas lagi. Tidakkah hal itu merupakan langkah awal yang sangat baik dan layak diapresiasi?
Republika menulis bahwa bagaimana pun FLP membawa fenomena baru dalam penulisan sastra religius kontemporer dan peduli terhadap kemunculan penulis baru dari berbagai kalangan di Indonesia. Karya-karya FLP juga mendapat perhatian dan penghargaan dari para peminat sastra.[18] Harian The Straits Times yang terbit di Singapura menyebut FLP sebagai kelompok fenomenal yang terus menerus melakukan training, workshop dan aneka kegiatan lainnya tanpa henti untuk mendukung lahirnya penulis baru.[19] Koran Tempo bahkan menjuluki pendiri dan Ketua Umum FLP sebagai ‘Lokomotif Penulis Muda Indonesia’.[20] Berbagai kalangan di Indonesia sepakat bahwa Forum Lingkar Pena telah memberikan sumbangsih dan kontribusi berarti dalam dunia kesusastraan Indonesia.[21] Selain itu FLP telah turut memberdayakan ekonomi para anggotanya ketika karya-karya mereka dimuat di media massa dan diterbitkan secara nasional.
Maka tiba-tiba saya kembali teringat Galang Lufityanto, pemuda Yogya, kelahiran 1981 yang menulis karya fiksi sama baiknya dengan karya ilmiah, yang berkali-kali menjadi juara I dalam berbagai lomba penulisan tingkat nasional dan telah menerbitkan bukunya: Bisikan dari Langit ( Mizan, 2001) dan Tidak Hilang Sebuah Nama (Era Intermedia, 2002). Bersama teman-teman FLP Yogya, Galang membuat konsep pelatihan penulisan empatik, yang mempercepat lahirnya para penulis anggota FLP di sana.
Lalu Sakti Wibowo, mantan buruh pabrik roti yang cerdas dan telah menulis puluhan buku, di antaranya Tanah Retak (Syaamil, 2003), novel sejarah menjelang perang Jawa 1825-1830.  Saya terbayang Agustrijanto yang karyanya Tonil Nyai di Ujung Senapan (Syaamil, 2001) dan Wiracarita Adi Cenik (Syaamil, 2002) dibuat dengan perpaduan riset luar biasa dan jalinan cerita yang indah.
Saya teringat pelajar sederhana, Meldy Muzada Elfa dari Barabai, yang dalam usia 14 tahun (kelas 2 SMP) telah menerbitkan dua buku fiksi dan berkali-kali menjadi pelajar teladan se-Kalimantan Selatan. Lalu Syamsa Hawa, si juara kelas, yang dalam usia 13 tahun telah menulis puluhan cerpen dan pada usianya yang ke 14 tahun menerbitkan bukunya Di Balik Cahaya Rembulan (Era Intermedia, 2001).
Adzimattin Nur yang menulis buku pertamanya dalam usia 13 tahun dan hanya dalam waktu dua tahun kemudian ia sudah menghasilkan 7 buku!  Abdurahman Faiz yang menerbitkan dua buku puisinya dalam usia 8 tahun. Kini dalam usia 11 tahun ia sudah menerbitkan 6 buku dan 5 antologi bersama, serta meraih 9 penghargaan tingkat nasional. Salsabila yang buku kumpulan cerpen pertamanya terbit saat ia berusia 7 tahun, Adam Putra Firdaus yang mencatatkan karyanya dalam antologi cerpen saat berusia 5 tahun. Mereka bangga disebut pelopor FLP Kids.
Saya ingat Asma Nadia yang dua bukunya: Rembulan di Mata Ibu (Mizan,
2000) dan Dialog Dua Layar (Mizan 2001) menjadi buku terbaik tingkat
na­si­o­nal versi Adikarya Ikatan Penerbit Indonesia 2001-2002 yang membawanya sebagai pengarang terbaik tingkat nasional IKAPI. Ia juga Pengarang terbaik versi Penerbit Mizan, 2003 dan pengarang muda yang menerima hadiah Mastera untuk karyanya Derai Sunyi (2004). Asma  menulis 10 buku dalam satu tahun! Buku-bukunya langsung mengalami cetak ulang saat baru satu bulan terbit.
Ia baru kembali dari Korea, mewakili Indonesia dalam pertemuan sastra di sana.
Ada juga Ninik Handrini yang dalam usia 25 tahun telah menulis lebih dari 30 buku cerita anak. Saya terkenang Muthmainnah, yang kini tinggal di Inggris. Karyanya: Pingkan Sehangat Mentari Musim Semi (Syaamil, 1998) terus mengalami cetak ulang sampai sekarang.
Saya terbayang Nurhadiansyah, Ketua FLP Depok, seorang koki muda yang bekerja pada sebuah kafe di Jakarta. Ia menulis dengan sangat indah dan tengah mempersiapkan buku pertamanya yang saya kira akan mencengangkan banyak pembaca. Lalu ada Alimudin di Lhokseumawe, Wildan Nugraha di Bandung, dan Ragdi F. Daye di Padang. Saya mengikuti perkembangan mereka yang pesat, sejak mereka mulai menulis cerpen remaja hingga cerpen-cerpen yang serius. Wina Karnie dan Swastika Mahartika, pengurus FLP Hong Kong yang menjadi domestic helper di sana juga memiliki karya-karya yang boleh diadu secara estetika.
Saya bangga pada Tary yang selalu saja memenangkan sayembara penulisan cerpen tingkat nasional tiap tahunnya. Juga pada  Habiburrahman El Shirazy, mantan Ketua FLP Mesir yang karyanya Ayat-Ayat Cinta (Republika 2004) mendapat sambutan luar biasa dari berbagai kalangan, pada Tasaro (Taufiq Saptoto Rohadi) yang novel dan tulisannya kerap mendapat banyak penghargaan nasional, antara lain Di Serambi Mekkah (DAR! Mizan) sebagai cerita remaja terbaik Adikarya IKAPI 2006.
"Tentu saja kita ingin banyak penulis di negeri ini. Dengan adanya FLP ini
akan menjadi kerja yang sinergis," kurang lebih kata-kata itulah yang terucap dari bibir para penulis muda itu, saat pertama kali bergabung dengan FLP.

Penutup
Dalam perdebatan di mailing list penyair@yahoogroups.com, beberapa penyair mengatakan bahwa penulis yang mendirikan dan ikut dalam suatu komunitas adalah mereka yang tidak percaya diri dan takut untuk tampil sendirian. Ada juga sastrawan yang menyatakan bahwa sebagai sastrawan kita tak akan pernah bisa merdeka menulis, bila berada dalam suatu komunitas.
Benarkah demikian?
FLP membuktikan keberadaannya adalah untuk saling memajukan serta membantu membidani kelahiran para penulis pelapis. Di FLP, para anggotanya merdeka untuk menulis apa saja, namun tetap dengan mengedepankan nurani.[22]
FLP juga gembira dengan kian menjamurnya  komunitas sastra di berbagai pelosok negeri dan siap bekerjasama memajukan budaya membaca dan menulis di negeri ini. 
Setelah tahun demi tahun berlalu, semoga apa yang dilakukan Forum Lingkar Pena sebagai gerakan budaya, gerakan kemanusiaan, bisa memberi sumbangsih bagi kemajuan peradaban bangsa.
 Seperti yang dinyatakan Maman S. Mahayana, “Dalam sejarah sastra Indonesia, belum ada satu pun organisasi atau komunitas (sastra) yang kiprah dan kontribusinya begitu menakjubkan, sebagaimana yang pernah dilakukan FLP. FLP telah membuat catatan sejarah sastra Indonesia dengan tinta emas!”[23] 
Semoga!



DAFTAR PUSTAKA


Al Faruqi, Ismail Raja, Cultural Atlas of Islam, New York, Mc Millan, 1986

Audah, Ali, Dari Khazanah Dunia Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta , 1999

Rosa, Helvy Tiana (ed.), Matahari Tak Pernah Sendiri; Kisah Seru Aktivis FLP, Lingkar Pena Publishing House, 2004

Rosa, Helvy Tiana, Segenggam Gumam Esai-Esai tentang Sastra dan Kepenulisan, As-Syamil, 2003

“Beneath The Burqah,” Paul Watson, Los Angeles Times, 23 Februari 2007.

“Fenomena Forum Lingkar Pena”, Maman S. Mahayana, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Besar 10 Tahun Forum Lingkar Pena, di Jakarta, Februari 2007

“FLP Gigih Lahirkan Penulis Muda,” Republika, 20 September 2002

“Fiction with Islamic Theme Selling Well in Indonesia,” The Straits Times, 28 Juli 2002

"Helvy Tiana Rosa, Lokomotif Penulis Muda", Koran Tempo, Maret, 2003

"Helvy Tiana Rosa Hasilkan 20 Buku Lebih", Suara Muhammadiyah No. 1 th ke-88, 1- 15 Januari 2003

“Helvy Tiana Rosa, Sebuah Potret Pertarungan Idealisme dan Kapital dalam Perkembangan Sastra Kontemporer di Indonesia,” Twediana Budi Hapsari, Makalah, Desember 2003.

"Menandai Kebangkitan Fiksi Islami", Sunarwoto Prono Legsono, Republika, 24 Agustus 2003

“Menyemai Bintang di Padang Ilalang; Tentang Regenerasi Sastra Indonesia”, Jamal D. Rahman, Makalah, Pertemuan Sastrawan di Singapura, 13 september 2003.








[1] Makalah ini disampaikan pada Konferensi Internasional HISKI, di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 8 Agustus 2007
[2] Pengarang, Pendiri FLP, kini adalah Ketua Majelis Penulis FLP, Dosen FBS- Universitas Negeri Jakarta, dan Direktur Lingkar Pena Publishing House
[3] Disampaikan pada Milad FLP tahun 2002 di Jakarta
[4] Yayasan Prima berubah nama menjadi Yayasan Lingkar Pena, Desember 2003.
[5] Inklusivisme FLP dalam soal agama tampak ketika FLP menyelenggarakan Sayembara Novel FLP 2005. Pemenang kedua sayembara itu jatuh pada novel berjudul Gadis Kunang-Kunang karya Olyrinson, sastrawan muda Riau (baca: Melayu) keturunan Tionghoa beragama Kristen. Olyrinson sendiri menyatakan bahwa FLP adalah komunitas yang keanggotaannya terbuka untuk setiap orang dan tidak ada kaitannya dengan persoalan agama, etnik, dan usia.
[6] Sistem Pembinaan Forum Lingkar Pena
[7] Helvy Tiana Rosa, Segenggam Gumam Esai-Esai tentang Sastra dan Kepenulisan, As-Syamil, Bandung, 2003, hal 51
[8] Kisah-kisah menggugah dan mengharukan mengenai kegiatan dan para relawan FLP dapat dibaca pada buku Matahari Tak Pernah Sendiri; Kisah Seru Aktivis FLP (Jilid I dan II), Lingkar Pena Publishing House, Depok, 2004.
[9] Ismail Raja Al Faruqi. Cultural Atlas of Islam, New York, Mc Millan, 1986, hal 29

[10] Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta , 1999 hal 283
[11] Ibid
[12] Maman S. Mahayana dalam makalahnya “Fenomena Forum Lingkar Pena”, disampaikan dalam Diskusi Besar 10 Tahun Forum Lingkar Pena, di Jakarta, Februari 2007
[13] Sunarwoto, Op.Cit.
[14] Dana FLP lebih banyak berasal dari iuran anggota Rp 2500/bulan--- yang tak selalu rutin dibayarkan
[15] Ranting FLP adalah sebutan untuk kepengurusan FLP di sekolah, pesantren atau universitas.
[16] Sebelumnya FLP adalah Badan Otonom dari Yayasan Prakarsa Insan Mandiri, Jakarta.
[17] Penyair Beni R. Budiman sebelum meninggal mengatakan banyak muncul ‘mualaf’ sastra dari FLP. Penyair Jamal D. Rahman menyebut FLP sebagai tempat menempa penulis remaja untuk kemudian menjadi sastrawan yang diperhitungkan.
[18] Februari 2003: “FLP Gigih Lahirkan Penulis Muda”
[19] 28 Juli 2002: “Fiction with Islamic Theme Selling Well in Indonesia”
[20] “Helvy Tiana Rosa, Lokomotif Penulis Muda”, Koran Tempo, Maret, 2003.
[21]  www.cybersastra.net
[22] Koko Nata Kusuma, Tasaro, Wina Karnie dan anggota FLP yang lain misalnya, berani menulis hal yang berkaitan dengan persoalan seks---hal yang terkesan dihindari sebagian besar anggota FLP. Meski demikian tulisan mereka tidak terkesan vulgar karena kaya dengan metafor.

[23] Maman S. Mahayana, Op.Cit.


sumber: http://helvytr.multiply.com