Kamis, 25 Desember 2014

Menjadi Penulis, Tak Sekadar Royalti (2)

Emang, punya duit royalti dosa?
Ya, enggak lah. Malah, dapat pahala karena membantu kemandirian. Dari royalti disisihkan infak, dapat memberi hadiah kepada orang tua dan saudara, dapat membantu teman yang kesulitan. Plus membeli barang yang dibutuhkan.
Tapi kalau royalti satu-satunya tujuan, cepat sekali impian ini menjadi redup. Pasalnya, royalti yang dibayar per 3 bulanan, 4 bulanan, 6 bulanan atau malah ada yang per tahun; baru terasa besarannya bila buku terjual sekitar 2000 eksemplar. Eit, jangan keburu senang mendengar buku kita terjual 2000 eksemplar, sebab buku itu telah terjual tetapi boleh jadi uang yang beredar dari toko buku dan distributor belum masuk seluruhnya ke kas keuangan penerbit sehingga bisa jadi royalti yang terbayar ½ atau ¼ dari total buku terjual.
Bicara masalah royalti memang cukup pelik. Dimulai dari harga kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi, harga kertas yang menjulang, membuat penerbit harus berhati-hati mengeluarkan satu buku. Buku pun berharga mahal, royalti penulis sekitar 10%. Akibatnya, masyarakat menjadi enggan membeli buku, belum lagi kecintaan pada dunia literasi tidak terlalu tinggi. Akibatnya, buah pikiran penulis yang ditulis lamaaaa sekali, dihargai sangat murah.
Apalagi, tidak ada kamus baku mutlak untuk sebuah buku best seller. Apakah jika judulnya berbau ke inggris-inggrisan? Apakah jika temanya kemanusiaan? Apakah jika alurnya supranatural dan fantasi? Apakah pendidikan sedang menggaung sehingga novel motivasi sangat diminati? Setiap tulisan punya peluang menjadi best seller, terjual secara baik atau sebaliknya terpuruk di pasaran. Saya punya buku-buku yang diprediksikan best seller, ternyata jeblok di pasaran. Saya punya buku-buku yang temanya biasa-biasa saja…eh, respon pasar bagus. Banyak faktor yang mengikuti sebuah buku terbit.
But, don’t worry. Pintu rezeki bukan cuma royalty, lho! Karena Allah SWT membukakan pintu-pintu lain semisal: menulis cerpen/artikel di media lebih diperhitungkan karena punya buku, dapat beasiswa, mengisi pelatihan, mengisi acara seminar, dll. Tuh, kan, menjadi penulis itu banyak gunanya!
Jadi, sekalipun berpikiran pragmatis, tetapi jangan jadikan satu-satunya alasan. Meski royalti kecil, tetaplah menulis. Meski sesudah peredaran tahun ke-3 royalti kita adalah …. Dan sebuah surat pemberitahuan: maaf, kami belum bisa mentransfer royalti anda karena jumlahnya kurang dari Rp.50.000; keep on writing.
Sebab menulis itu menyenangkan. Yey! dan kita tidak tahu di buku keberapakah Dia menitipkan rezeki terbaikNya, kan?
aaa
Self Publishing
Capek ngurus royalti? Capek berbelit dengan editor, redaksi, penerbit? Self publishing, ah! Atau bikin penerbitan sendiri! Beberapa penulis perempuan yang sudah berhasil dalam dunia penerbitan adalah mbak Asma Nadia dan mbak Afifah Afra.
Saya sendiri pernah tergoda mendirikan penerbitan sendiri. Ah, masak enggak bisa menjual buku sendiri sampai 3000 eksemplar, sih? Kebangetan banget! Setelah tanya sana sini terkait banyak hal mulai modal sampai teknis; sebelum saya menerbitkan buku sendiri, ada saran seorang penulis muda Mohammad Arif Luthfi aktivis FLP Jatim yang sempat setahun mengajar di  program Indonesia Mengajar.
“Mbak Sinta, mendirikan penerbitan itu enggak gampang, lho. Nanti apa masih bisa punya waktu untuk nulis?”
Saya salut dengan mbak Asma dan mbak Afra yang masih bisa tetap  menulis sembari mengelola penerbitan; tapi apa saya sanggup? Waktu #Rinai baru terbit, saya melayani penjualan buku-buku preorder. Membungkus, memberikan alamat, mengirim ke JNE. Belum lagi kalau ada klaim dari pembaca yang menanyakan, kok, bukunya belum sampai. Hehe, maklum semua masih dikerjakan sendiri.
Mungkin karena saya sedang sibuk kuliah. Mungkin karena saya kurang cermat membagi waktu. Mungkin karena semua agenda kebanyakan ada di hari Jumat-Sabtu-Minggu sehingga nyaris tak ada hari libur. Mungkin, mungkin, mungkin yang lain. Tapi membuat penerbitan sendiri, dibutuhkan satu hal:team work.
Bukan sekadar penulis yang bisa membuat sebuah karya. Mbak Asma punya kerja tim yang baik, mbak Afra punya tim yang andal. Karena bagi saya, alangkah kelelahan menulis, promosi, mengisi kesana kemari, mengelola penerbitan yang merupakan sebuah entitas usaha dengan segala dinamikanya.
Meski, saya tetap punya cita-cita menerbitkan buku sendiri. Karena enggak semua karya kita bisa lolos di penerbit padahal kita suka sekali karya tersebut. Saya ingin menerbitkan buku-buku yang tipis, cepat edar di kalangan teman-teman sendiri. Bukan  buku yang spektakuler, hanya sekedar sharing pengalaman sehari-hari sebagai ibu, anggota masyarakat, istri dan penulis. Enggak mungkin menuntut penerbit untuk menerbitkan semua karya kita sebab mereka punya kebijakan masing-masing. Penerbit juga punya modal yang harus dikembangkan, punya pegawai yang harus diperhatikan.
Self publishing adalah salah satu dinamika menarik di tengah masyarakat penulis. Mereka cepat tanggap terhadap kebutuhan penulis yang mungkin lelah mengantri lama di penerbit regular. Ada banyak self publishing, silakan cermati. Membuat penerbitan sendiri juga bukan hal yang sulit asalkan punya tim kerja, solid membagi peran, transparan dan memiliki akuntabilitas terkait masalah pendanaan.
Saya pribadi tetap menyarankan teman-teman penulis di dua jalur: self publishing dan penerbit reguler. Self publishing bagus untuk mendongkrak motivasi, memiliki buku sendiri meski tipis dan berjumlah terbatas. Tetapi penerbit regular harus tetap ditembus, sebab dalam penerbit reguler berkumpul tim yang sudah punya pengalaman: editor, redaksi, pelaku pasar, distributor.
Apapun penerbitnya, tetaplah punya visi misi besar sebagai penulis!

Menjadi Penulis, Tak Sekadar Royalti (1)

Punya passive incomesecara periodik. Nama yang dikenal. Orang-orang yang respect akan ide yang digulirkan. Dikejar-kejar penerbit. Sesekali ditampilkan media. Menerima permintaan pertemanan setiap pekan. Ada saja yang jadi follower di twitter. Ditakuti teman jika bersamaan ikut lomba menulis. Aaaah, enaknya!
Maka banyak sekali orang yang bilang: aku mau jadi penulis! Aku punya banyak ide, lho. Aku sudah buat cerita ratusan halaman. Aku kepingin nulis cerita cinta, horor, detektif, petualangan, sains fiksi dan banyaaaak lagi. Semangat membara untuk melihat cover buku dengan nama kita tercetak di sampul depan. Biografi singkat di halaman belakang ditambah foto terakhir ukuranclose up dengan senyum paling manis.
Lalu beranjak 6 bulan. 1 tahun. 2 tahun. Impian itu meredup. Semangat layu. Cerita-cerita masih menumpuk di buku catatan maupun file komputer. Tapi keinginan menjadi penulis yang dipertimbangkan, lenyap secepat angin menerbangkan tetes air di musim kemarau.
aaa
Visi Besar. Great Mission.
Tahu Ibnu Khaldun, Ibnu Batuta, Kartini, Dewi Sartika? Kenal Steve Jobs? Steven Spielberg? Pernah dengar Muhammad al Fatih, Shalahuddin al Ayyubi, Napoleon Bonaparte?
Yup. Orang-orang yang namanya tercatat besar dalam sejarah bukan mereka yang punya misi “average man”. Sekadar coba-coba. Sekadar punya uang saku. Sekadar punya karya. Sekadar punya buku. Meski yang ditulis awalnya cerita ringan macam teenlit, chicklit, panduan how to; bukan berarti ambisi atau cita-cita penulisnya sesederhana itu. Orang-orang yang punya keinginan bahwa karya mereka akan dikenang.
Maka, penulis harus membingkai visi misinya dalam sebuah frame besar dan hebat. Sepuluh tahun atau 20 tahun dari sekarang, tulisanku akan menjadi acuan dalam bidang penulisan fiski remaja. Atau acuan dalam bidang yang diminati seperti psikologi, resensi film, kriminal, panduan hidup, dsb. Kegagalan yang berada di tahun ke-1, ke-2 atau malah 6 bulan pertama belum terhitung sebagai kegagalan. Sebab ia masuk ke dalam sebuah outline besar, daftar isi panjang buku kehidupan kita. The Story of My Life.
So, keep moving! Sebab Steve Jobs punya misi merevolusi cara berkomunikasi manusia seantero bumi. Spielberg bosan menonton tayangan film-film TV yang tidak spektakuler. Al Ayyubi enggan lagi mendengar kafilah haji dicegat dan ditarik pajak tinggi sebelum masuk Yerusalem. Kartini dan Dewi Sartika benci perempuan selalu jadi makhluk marginal.
Aku? Kamu? Apa cita-cita besar kita?
aaa
Long Life Education. Belajar Sepanjang Hayat.
Belajar itu bukan sekolah, ya. Arti belajar itu adalah “menimbulkan satu perilaku positif yang menetap.” Jadi kalau sekolah 15 tahun tapi nggak tahu apa arti korupsi, berarti dia nggak pernah belajar.
Belajar menulis ABC supaya mahir menggunakan huruf. Belajar bahasa Indonesia dan bahasa Inggris supaya tahu bagaimana menggunakan bahasa secara tertulis dan lisan. Belajar matematika supaya tahu menggunakan logika (bukan sekadar hafal rumus dan angka!). Belajar di fakultas kedokteran supaya tahu faal, anatomi tubuh manusia juga keMaha Agungan Penciptaan. Jika ada seorang dokter yang sombong dan enggak punya sikap altruis, berarti belum belajar banyak.
Percayalah. Penulis itu orang yang dituntut belajar banyak. Belajar jadi manager: harus bisa mengolah uang saku, mengelola waktu, mengelola jadwal. Belajar jadi psikolog: memotivasi diri, belajar bagaimana otak bekerja, perilaku muncul, pengalaman memperkaya. Belajar jadi sastrawan: bagaimana sih dunia literasi itu? Belajar jadi entrepreneur: apa sih tema yang tengah disukai? Atau, kalau kita enggak mau ikut arus, bagaimana cara mengemasnya? Enggak perlu belajar secara detil, tetapi setidaknya dengan menjalani profesi itu, kita akan turut belajar ini dan itu.
Ada kesempatan kuliah, ayo! Ada kesempatan ikut pelatihan, come on! Ada kesempatan sharing dengan penulis atau profesi lain, ikut! Ada kesempatan baca, lakukan!
Jadi, tetapkan diri uuntuk banyak belajar dari segala hal. Enggak perlu belajar sampai jadi seperti Einstein atau Hawking (meski orang semacam mereka tetap perlu!). Tetapi harus ditanamkan dalam diri: gagal, belajar, gagal lagi, belajar lagi, masih gagal, belajar lebih keras.

Ketua Umum Forum Lingkar pena 2013-2017. Mahasiswi Magister Profesi Psikologi UNTAG