Selasa, 05 November 2013

Tak Terpengaruh Ide Pasaran, Oka Rusmini, Fokus Menulis “Perempuan”

Oka Rusmini
Sabtu, 2 November 2013. Itu kali pertama kami,  Tim FLP Bali, menyambangi sebuah kantor media cetak terbesar di Pulau Dewata, Bali Post. Rupanya aktivitas media ini sama sekali tidak mengenal waktu istirahat, bahkan malam hari sekalipun. Maklumlah media cetak, sekuat tenaga mengejar sekian banyak deadline yang harus diselesaikan sebelum berita hangat muncul di koran keesokan paginya. Bagi seorang Oka Rusmini sekalipun, menikmati malam minggu secara utuh ditemani artikel, cerpen, puisi, bahkan mesin cetak untuk menyempurnakan kolom sastra di media itu sudah bagaikan hobi saja.

Dari kami, yang beruntung dan dapat bertemu langsung dengan ibu Oka ada 14 orang, 90%-nya adalah Perempuan. Tidak ada yang salah dari jumlah kami, hanya saja 14 orang bukan jumlah yang sedikit untuk ditampung perpustakaan Bali Post. Kami duduk merapat dan semakin dekat dengan Penulis Bali yang penuh karakter feminis dalam setiap novelnya itu. Ya, beliau hanya seorang ibu dengan satu anak, yang masih produktif menulis dan konsen menuangkan kebudayaan Bali dalam karyanya.

Tanpa prolog, beliau menyampaikan bahwa sebenarnya tidak perlu berkunjung jika hanya untuk mencuri ilmunya. Media sosial sudah menjadi fokus utamanya untuk terus berbagi ilmu menulis. Bahkan media internet sudah menjadi guru dan informan yang baik untuk penulis pemula dapat mulai mengamalkan goresan penanya. Ah, beliau terlalu bersahaja untuk ukuran seorang penulis yang gudangan karyanya sudah dimuat di berbagai media. Selain itu, tak sedikit penghargaan nasional dan internasional yang dirahinya.

Ibu Oka yang bernama asli Ida Ayu Oka Rusmini ini, mengaku belum lama mengenal FLP meskipun sudah lama mengenal Mbak Helvy Tiana Rosa. Beliau mengaku senang dan bangga, dengan adanya komunitas  kepenulisan ini untuk terus tumbuh memunculkan kader-kader penulis yang berkualitas. Apalagi komunitas tersebut juga ada di Bali, dan sebagian besar anggotanya perempuan. “... Jujur saya baru tahu ada FLP, apalagi anggotanya banyak perempuan, karena sangat jarang penulis dari kalangan perempuan saat ini. Dan tentu hal ini sangat dibutuhkan bagi dunia sastra Indonesia…” ujarnya.

Menurut pengakuan beliau tidak diperlukan tips khusus untuk menulis. Intinya hanya terus belajar dengan cara membaca berbagai macam karya dan terus menulis. Disiplin dalam mengatur waktu juga menentukan seberapa serius kita dalam menghasilkan karya. Segala bentuk aktivitas dan kesibukan beliau sebagai istri, ibu, dan pekerja media tidak menjadi alasan untuk berhenti berkarya.

Menulis dapat dimulai dengan menulis hal-hal yang sederhana di sekitar kita, tanpa harus membebani diri dengan ide-ide besar terhadap berbagai karya yang muncul di pasaran. Media sosial juga bisa kita gunakan sebagai sarana untuk terus belajar menambah kosakata bahasa, sehingga karya-karya yang nantinya dihasilkan sudah memiliki kekayaan bahasa. Dan saya juga tidak pernah merasa malu untuk terus belajar dari karya-karya anak muda, seperti Benny Arnas…”

Ketika disinggung seputar kerapnya kontroversi budaya Bali yang beliau munculkan di dalam karya-karyanya, beliau hanya mengungkapkan bahwa ia hanya melakukan revisi budaya. “…hal ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama. Kami, penulis, hanya ingin melakukan revisi terhadap kebudayaan yang sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang. Bukan melakukan perubahan secara utuh, tapi inilah upaya kami. Memberikan pengetahuan kepada semua orang bahwa kebudayaan tidak harus dilanjutkan dengan seperti ini….”

Ibu kelahiran Jakarta, 11 Juli 1967, ini juga mengaku tidak terlalu menghiraukan riak-riak yang muncul di lingkungan masyarakat Bali terhadap tulisan-tulisannya tersebut. Baginya kecaman-kecaman itu datang justru karena mereka belum membaca bukunya secara detil. Buku Tarian Bumi karyanya, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman dan Inggris sudah dilakukan dengan riset mendalam selama lima tahun. Isi karyanya juga tidak seperti yang selama ini dibicarakan. Jadi beliau tetap survive dengan karyanya tersebut dan terus menulis hal-hal serupa hingga akhirnya kini benar-benar diterima di Indonesia bahkan mancanegara. Tidak sedikit karya-karyanya yang dijadikan rujukan dan objek penelitian dalam skripsi atau karya ilmiah sejenis di Perguruan Tinggi Nasional.

Akhir perjumpaan beliau mengaku akan terus menulis karya yang bertemakan “Perempuan”. Menurutnya, sejak era 1920an sangat jarang ditemukan penulis yang berani mengangkat hal ini sebagai hasil karya. Meskipun terus akan membahas tentang perempuan, ia mengaku tidak pernah kehabisan ide. “….kita harusnya bersyukur diciptakan sebagai perempuan dengan berbagai macam keunikannya yang tidak dimiliki laki-laki. Mulai dari bagaimana cara seorang perempuan mengedepankan perasaan dalam pengambilan keputusan, sampai hal-hal fisik yang menggambarkan keindahan seorang perempuan…”

Diskusi berlangsung hangat sampai sejam lebih. Kami sudah cukup menghabiskan banyak waktu beliau yang seharusnya digunakan untuk segera menyelesaikan tanggung jawabnya dalam mengisi 3 halaman Koran Mingguan Bali Post esok hari. Tentunya perjumpaan ini akan menjadi motivasi dan ilmu berharga bagi kami untuk dapat menelurkan karya-karya yang mendidik dan berorientasi kebaikan bagi masyarakat tanpa perlu memikirkan ide-ide pasaran. (ky)

Rabu, 05 Juni 2013

Writer Camp 1 : Menulis Semudah Tersenyum

Hadir, Writer Champ 1 sebuah awal dari langkah menuju jalan panjang dalam menempuh dan menempah kemampuan menulis. Dengan kegiatan ini kami berharap muncul tunas-tunas baru dalam mencerahkan dunia melalui tulisan. Yah, tulisan yang abadi meski raga dan nyawa tak lagi satu. Berlokasi di Villa Canggu, Bali, kami mengajak semua pemuda-pemudi untuk bergabung pada Writer Camp 1. Tak sedikit memang pengorbanan, tak banyak yang dihasilkan, namun dunia menunggu perubahan. Menulislah dengan senyum, karena itu bentuk ketulusan hatimu. Dunia menunggu goresan tintamu yang indah itu.

Selasa, 15 Januari 2013

Perjuangan di Balik Jilbabku

Menggunakan jilbab dan menutup aurat bukanlah suatu hal yang pernah terbayangkan sebelumnya pada diriku. Aku merasa belum pantas untuk menggunakannya karena aku masih muda, masih penuh dosa, tidak paham tentang islam yang sesungguhnya, dan aku takut teman-temanku akan menjauh setelah aku menggunakan kain itu untuk menutupi kepala, rambut indahku dan seluruh tubuhku. Hal itu membuat diriku benar-benar tidak pernah membayangkan bahwa aku akan menggunakan jilbab dan menutup auratku sepenuhnya.
Suatu hari kakakku mengajakku untuk bergabung di sebuah organisasi remaja masjid. Saat itu aku masih duduk dibangku kelas XI sebuah Sekolah Negeri di Denpasar. Awalnya ya aku akui itu hanya untuk mengisi waktu luangku saja. Seiring waktu berjalan aku mulai sering bertemu teman-teman baru disana dan mulai terbiasa berorganisasi walau disekolah aku juga tergabung dalam suatu organisasi. Semua berjalan sangat baik dan aku mulai sibuk dengan padatnya kegiatan-kegiatan dalam remaja masjid tersebut sampai hampir setiap malam aku jarang berada di rumah. Semua berjalan sangat menarik dan secara tak sadar aku jadi sering menggunakan jilbab untuk ke masjid dan beberapa acara-acara tertentu. Dan ternyata menggunakan jilbab itu tidak seburuk dan semenakutkan seperti apa yang aku fikirkan dulu, Malah orang-orang lebih sungkan, sopan dan sangat menghormati aku semenjak aku menggunakan jilbab. Lain halnya saat dulu aku belum menggunakan jilbab. Sungguh luar biasa keistimewaan menggunakan jilbab dan menutup aurat ini. Kini aku mulai terbiasa dan yakin untuk menggunakan jilbab dan menutup auratku sepenuhnya.
Namun kisah menutup aurat dan menggunakan jilbabku tidak habis sampai disini saja. Ternyata perjuangan ini baru dimulai setelah aku berkomitmen untuk menggunakan jilbab dan menutup auratku. Semua terasa berat ketika aku bertemu dengan orang-orang yang terbiasa melihatku tidak berjilbab dan mendengarkan kata-kata mereka yang cukup menyinggung perasaanku. Contoh kalimat:
“eh, sejak kapan lu pake jilbab?? Dah dapat hidayah lu?? Alim banget!! Dah kayak Mamah dedeh aja!!”
“eh,, ada ibu ustadzah, mau pengajian dimana bu?? ( dan mereka tertawa meremehkan )

Awalnya aku sangat tersinggung dengan ucapan-ucapan mereka yang terkadang lebih menyakitkan dari contoh-contoh kalimat diatas. Tapi aku mencoba untuk sabar dan tetap beristiqomah setelah aku mengingat sebuah hadist yang menyebutkan “Lebih baik diam dari pada berbicara yang tidak ada gunanya”. Selain itu ada juga sahabatku yang tidak suka dengan penampilanku sekarang memilih untuk menjauhi aku, dan tidak mau berteman dengan aku lagi. Sedih rasanya, dan niatku untuk berjilbab disitu sempat tergoyahkan. Tapi ALLAH SWT memang tidak pernah tidur dan Maha Melihat, Beliau selalu memberikan jalan untuk hambanya yang mau bertobat. Beliau mempertemukanku dengan seorang Ibu-Ibu muda yang selalu memberikan aku motivasi-motivasi dalam setiap masalah yang aku hadapi. Yang selalu menguatkanku, membimbingku dengan ilmu-ilmu agama yang dia miliki untuk tetap berada di jalan ALLAH SWT.
Singkat cerita beberapa bulan setelah kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan tersebut terjadi, aku bertemu kembali dengan orang-orang dan sahabatku yang dulu menjauhi dan meremehkan aku. Aku menemui mereka dengan perasaan tenang, santai dan tetap menjaga aurat, lisan dan pikiranku. Dan tentunya aku telah mempersiapkan diriku untuk mendengar kata-kata yang kurang berkenan dari mereka berikut dengan jawabannya yaitu sebuah senyuman ikhlas. Tapi, Subhanallah sikap apa yang mereka tunjukkan saat itu padaku sangat membuat aku terkejut dan bahagia. Mereka sangat menerima kehadiranku, bahkan mereka memujiku dengan kalimat-kalimat yang indah. Begitu juga dengan sahabatku yang dulu menjauhiku karena penampilanku, dia datang menemuiku ke rumah dengan penuh senyuman dan dia memintaku untuk kembali menjadi sahabatnya. Sempat aku mengatakan padanya bahwa kini aku berjilbab dan tidak akan berpenampilan seperti dulu lagi dan dia menjawab bahwa itu tidak akan menjadi masalah untuk sebuah persahabatan yang sudah kita bangun sejak masih duduk di bangku TK.
Subhanallah ALLAH  SWT Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Segalanya.

ditulis oleh: Yunita Dahniar (FLP denpasar)

Sayang, Aku Tak Baca Koran

Aku tak pernah ingin seperti mereka. Bapak-bapak yang suka bercengkrama dengan teman sebaya di pos ronda. Atau sekadar nongkrong di warung kopi pinggir jalan, berbicara tentang wanita, uang dan wanita lagi.

Biarlah aku dibilang takut isteri, toh kamu tahu, aku tak pernah takut padamu. Aku cuma cinta, cuma tak ingin menyakitimu, cuma tak ingin menyusahkanmu. Bukannya aku tak suka di luar rumah, aku yakin di luar sana pasti menyenangkan, namun di rumah lebih menenangkan.

Mereka berkata, bahwa mereka adalah punggawa nafkah keluarga. Mereka berkilah bahwa kaummu adalah penjaga rumah, pengasuh anak, mungkin sejenis pembantu rumah tangga. Tapi aku tidak, sebab kamu adalah makhluk Allah paling kucinta.

Apalah yang lebih melelahkan dari mengurus anak yang pantang menyerah memberantakkan seisi rumah. Belum lagi ditambah setumpuk cucian kotor yang aku hasilkan, tak lupa bekas teh dan mi instan yang kuletakkan saja di meja dapur. Bisa saja rumah kita adalah neraka ketika aku pergi, namun seketika menjadi surga yang rapi dan indah ketika aku pulang ke rumah. Sungguh beruntung aku jika engkau tak mengeluh tentang semua kekacauan itu.

Apalah aku dan pekerjaanku ini, seorang lelaki kantoran dengan setumpuk kertas dan sebuah monitor dihadapanku. Di kantorku, tak ada pemandangan buruk, semua indah, rapi tertata. Tak ada bau busuk sampah dan jeritan kakak ketika harus terus mengalah kepada adiknya. Semuanya wangi, diiringi musik-musik berformat mp3, atau mkv-mkv hasil unduhan gratis dari dunia maya.

Mereka, bapak-bapak kantoran itu, terus terang saja sering menggoda pegawai wanita yang masih muda. Itu biasa terjadi setelah pekerjaan mereka telah terselesaikan, atau mungkin baru selesai sebagian. Asal engkau tahu sayang, perempuan kantoran itu wangi dan warna-warni. Indahnya kehidupan bapak-bapak itu selama sembilan jam setiap harinya.

Namun sayang, di rumah isteri mereka tak secantik bidadari-bidadari kantoran. Badannya bau keringat, dengan rambut terikat, daster seadanya. Bapak pun ilfil dibuatnya, “sudah capek-capek di kantor, sampai rumah kok gak ada sambutan istimewa.” Si bapak lupa, bahwa istrinya baru saja menyesaikan pekerjaan nguli-nya di rumah mereka. Si bapak lupa, apa definisi capek sebenarnya. Mungkin arti capek adalah lelah tertawa sebab menggoda perempuan-perempuan muda.

Aku tak ingin seperti mereka, bapak-bapak itu. Dan aku juga tak ingin engkau seperti mereka, ibu-ibu yang bau keringat itu. Sebab engkau harus wangi, rapi dan cantik. Maka kuulurkan tanganku setiap hari di tempat cuci piring kita. Kutuang sabun dan kualirkan air untuk baju-baju kita. Soal mengasuh anak dan memasak, engkaulah ahlinya, maka aku mundur dari urusan itu.

Bukan aku menafikan kekuatanku untuk mengurus semuanya tanpa diriku. Namun aku ini lelaki, kendatipun kurus, namun sifat gagah harusnya tetap tersemat pada diriku. Dengan kekuatan yang kumiliki, seharusnya aku menyelesaikan lebih banyak hal darimu, bukan sebaliknya. Memang, nafkah adalah kehormatan dari jenisku, namun membantumu adalah bentuk cintaku, maka kupilih keduanya.

Pernah aku merasa, bahwa aku adalah satu-satunya dari jenisku. Lelaki gentleman yang mau membantu urusan rumah tangga. Tapi ternyata aku lupa, bahwa aku tak ada seujung kuku dari manusia mulia, Muhammad Shalallahu alaihi wassalam.

Di saat lelah, sering aku berkusut muka, sebab tak ada makanan tersedia, padahal lapar sedang merongrong perutku dengan hebatnya. Tapi ia, Rasulullah, tak pernah bermasam muka di hadapan kekasih hatinya, Aisyah, sekalipun tak ada makanan di rumahnya.  Lelaki mulia itu pasti akan segera menyingsingkan bajunya, menuju dapur membantu istri tercintanya, tanpa protes, tanpa kata-kata pembuka. Aku sungguh ingin seperti beliau, memperlakukan wanitanya dengan penuh cinta.

Dahulu di sekolah, mungkin kita belajar hal yang sama di pelajaran bahasa indonesia. Setelah kupikir-pikir, itu adalah penanaman pola pikir yang salah sejak dini. Beberapa kalimat sederhana berstruktur S,P,dan O

Ibu menanak nasi  

Ayah membaca koran

Kakak menyapu halaman

Adik bermain bola

Dan yakinlah sayang, aku tidak akan membaca koran, sebelum aku selesai membantumu di dapur. Ah, kita kan tidak berlangganan koran!

disadur dari note Facebook Mas Rizki dalam momen Menulis Serentak FLP

Kedatangan

"Mungkin ini sampah, gombal, dan semacamnya; tapi lebih baik membacanya daripada diam tak berarti"  kataku. Ia tak menjawab apapun dari satu juta makna yang aku lemparkan, hanya bahasa tubuhnya mengisyaratkan ia mencoba mengerti. Tangannya bergerak menyentuh buku yang kuacungkan didepannya. "Buku apa ini?", cuma senyum jawabku, "Buku siapa ini?" ia bertanya. "Jelas milikku!" ,"Lantas kenapa kau suruh aku membacanya?" katanya. "Aku hanya ingin engkau mencoba mengerti!". Detik-detik kemudian suaranya menghilang, getarannya ditelan ragu; Aku tahu ia bimbang dan takut, namun kuyakinkan ia, "Bacalah, dan kau akan mengerti. Mungkin engkau tak harus mengerti dari seratus juta kata yang tercetak dalam buku yang aku berikan. namun ketahuilah Tuhan ada, ia tak dapat engkau mengerti atau engkau lihat sekalipun. Namun indra mu yang paling kuat dapat menerima keberadaannya, ialah Hati. Rasakan Tuhan dengan hatimu, dalam semua bentuk kehidupan ia ada. Hayatilah Ia dan Syukuri Ia, maka engkau akan temukan yang selalu engkau ingin temukan." Dia menatapku sejenak, kulihat bebannya melemah.
"Kenapa kau ingin aku mengerti?" "Aku hanya tak menginginkan engkau tidak mengerti!" kataku.
Ia menatapku penuh tanya dan curiga. Dalam waktu yang tak sebentar itu aku tahu, ia lebih takut bahwa ia mengerti perkataanku daripada takut aku mempengaruhinya. Tapi lebih jauh daripada itu aku tak pernah tahu sedalam apa ia melihatku, Aku juga bukan manusia yang bisa mengatakan apa yang telah aku katakan. Hingga akhirnya ia jengah, maka ia melenggang dari hadapanku "Katakan satu alasan kenapa kau memberikan buku ini padaku?, kenapa aku?", "Siapa lagi yang mencoba mengerti, hanya kau yang mempertanyakan kegundahan dan kegelisahanmu. Bukanlah manusia-manusia yang larut dalam ria gempita, hanya engkau yang menginginkan aku untuk aku datangi, hanya engkau yang menginginkanku, dan hanya engkaulah yang aku punya."
Gerak tubuhnya jelas, ia pergi, lenyap ditelan cakrawala.

Itu adalah Burung Gereja


oleh Indah Dewi Rachmawati (anggota FLP Denpasar)

Kasih ibu sepanjang jalan, sedangkan kasih anak sepanjang gang. Mungkin kalimat itu sudah sering kita dengar sejak kecil, begitu juga dengan saya. Saya percaya dengan kalimat itu karena cinta dan kasih kita kepada orang tua penuh dengan mengharap imbalan sedangkan orang tua kita tidak pernah sedikitpun megharapkan imbalan dari kita. Mereka justru dengan senang hati akan memberikan semua cinta dan kasih sayangnya kepada kita, bahkan mengorbankan jiwa dan raga pun mereka akan lakukan demi kita. Mereka dengan sangat bersabar membimbing dan mengajari kita sejak pertama kita lahir ke dunia, bahkan sampai saat ini kita juga masih dalam bimbingan mereka. Saya teringat oleh video yang kemarin saya tonton. Di video tersebut menceritakan seorang ayah sedang duduk bersama anaknya yang sedang membaca koran. Tak lama kemudian datanglah seekor burung gereja dan sang ayah bertanya pada anaknya “apa itu?”. Sang anak berhenti membaca dan melihat apa yang ada di hadapan mereka, lalu ia menjawab “itu adalah burung gereja”. Sang ayah kemudian bertanya kembali dengan pertanyaan yang sama berulang-ulang. Mendengar pertanyaan tersebut, sang anak marah karena dia merasa sudah menjelaskan ayahnya berulang-ulang, sampai akhirnya sang anak berkata “apa yang sedang ayah pikirkan”. Mendengar ucapan itu, sang ayah masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian sang ayah datang sambil membawa sebuah buku dan dia duduk di samping anaknya. Dia membuka buku itu dan memberikan kepada anaknya sambil berkata “bacalah yang keras”. Sang anak kemudian membacanya dengan keras “hari ini putra bungsuku yang berusia tiga tahun bertanya kepadaku sebanyak 21 kali, ayah apa itu? Dan aku pun menjawab sebanyak 21 kali tanpa marah sedikitpun bahwa itu adalh seekor burung gereja. Setiap putraku bertanya, aku selalu memeluknya berulang-ulang”. Setelah melihat video itu sayapun tersadar bahwa tokoh sang anak dalam video tersebut adalah cerminan dalam diri saya. Mungkin juga termasuk anda. Kita sangat marah ketika orang tua kita menanyakan sesuatu yang sama kepada kita karena kita merasa sudah menjelaskannya dan tentu saja pertanyaan itu sangatlah mengganggu kesibukkan kita. Akan tetapi bertolak belakang dengan apa yang mereka lakukan kepada kita. Mereka tidak pernah sedikitpun mengeluh atau marah saat mengajari kita. Bahkan pertanyaan yang kita ajukan justru lebih banyak dari mereka. Mereka justru sangat senang dengan perkembangan yang kita alami. Bahkan mereka memberikan kasih sayangnya kepada kita. Pikirkan dan renungkanlah wahai teman.

Minggu, 13 Januari 2013

Selamat Bergabung Penulis - Penulis "Muda"

Workshop Kepenulisan dan Optimalisasi Webblog (13/1/2013). Kursi terisi penuh dan dengan semangat penuh pula para peserta antusias mengikutinya. Dengan workshop ini diharapkan peserta bisa memulai termotivasi menulis dan menuangkannya melalui webblog. Meski ada sedikit gangguan wifi karena melebihi quota , materi optimalisasi webblog tetap seru untuk disimak. Minimal dari ini bisa membuka wawasan tentang dunia internet dan peluang-peluangnya. Kedepannya kegiatan ini akan rutin dan intensif diadakan. Tentunya untuk anggota FLP dalam usaha meningkatkan kualitas dan kuantitas karya-karya mereka. Selamat bergabung penulis - penulis muda, semoga karya - karya kita bermakna. Sampai jumpa dalam pertemuan berikutnya. :)

Sabtu, 05 Januari 2013

Workshop kepenulisan dan Optimalisasi Webblog


Assalamu’alaikum Sahabat  Pena,
Banyaknya pertanyaan – pertanyaan pada kami tentang kepenulisan, membuat kami terdorong untuk menyelenggarakan pelatihan menulis secara intensif  tiap bulannya atau bahkan tiap minggu. Itu akan terlaksana jika kita saling bekerjasama dan membantu. Bulan ini akan kami adakan workshop kepenulisan dan optimalisasi webblog.
Workshop kepenulisan akan kita bahas tips – tips praktis serta menguatkan lagi motivasi kita akan pentingnya menulis. Setelah itu langsung kita praktekkan. Sebagai pengembangan dari tulisan kita, maka perlu adanya media untuk para pembacara tulisan kita mudah mengaksesnya. Diharapkan ada, saran dan kritik tentang karya yang telah kita buat. Salah satu media yang murah dan efektif adalah webblog yang sering kita sebut blog. Apalagi ditunjang dengan dukungan sosial media untuk menyebarkan tautan blog kita seperti twitter dan facebook. Maka di akhir sesi workshop atau diskusi akan dibahas tentang optimalisasi webblog dan sosial media. Dengan itu karya-karya kita bisa bermanfaat atau minimal kita dokumentasikan di media online yaitu webblog.
Acara akan dilaksanakan pada hari Minggu, 13 Januari 2013 di Gedung DSM bali lantai 2 pada pukul 9 pagi hingga 12 siang dengan target peserta 30 orang. Pembicara yang akan mengisi adalah Penulis Buku sekaligus Ketua FLP wilayah  Bali, beliau adalah  praktisi. Dia adalah Lailatul Widayati. Sesi kepenulisan akan mendominasi  karena inilah intinya, sedangkan optimalisasi webblog adalah sebagai materi pendukung. Sesi optimalisasi webblog akan dibawakan oleh Fatkur Rohman. Dia adalah seorang praktisi di dunia Internet sekaligus ketua FLP Cabang Denpasar.
Acara ini gratis bagi anggota FLP karena ini diagendakan secara rutin tiap bulan. Bagi yang ingin bergabung pada acara ini otomatis harus bergabung dulu sebagai anggota di FLP Cabang Denpasar dengan klik menu Registrasi Anggota pada blog kami. Diharapkan dengan adanya acara ini kemampuan menulis bisa meningkat. Selain itu kualitas dan kuantitas menulis juga sangat diharapkan semakin baik dengan ditunjang media online. Semoga acara ini bermanfaat.

Profil Lengkap Forum Lingkar Pena : Sejarah, Konsep, dan Gerakan


Tulisan ini adalah penyempurnaan dari tulisan sebelumnya "FLP Penulis dari 100 Kota" yang ditulis tahun 2005. Disempurnakan kembali tahun 2007.
FORUM LINGKAR PENA
SEJARAH, KONSEP DAN GERAKAN[1]


Helvy Tiana Rosa[2]



Abstrak

Forum Lingkar Pena adalah komunitas (calon) penulis yang didirikan 22 Februari 1997. Dalam sepuluh tahun perkembangannya, FLP menjadi wadah ribuan orang untuk mengasah diri sebagai pengarang/ penulis, menerbitkan lebih dari 600 buku, bekerjasama dengan tak kurang dari 30 penerbit, dan membuka cabang di  dari 125 kota di Indonesia dan manca negara, seperti Singapura, Hong Kong, Jepang, Belanda, Amerika, Mesir, Inggris, dll. Para aktivisnya kemudian mendirikan Rumah- Rumah Cahaya (Rumah baCA dan HAsilkan karYA) di setiap sekretariat cabang FLP. Tak hanya menyentuh kalangan intelektual, FLP menjadi wadah gerakan para ibu rumah tangga, buruh, anak jalanan,  hingga pembantu rumah tangga. Ada pula FLP Kids yang ditujukan bagi anak-anak dan menjadi motor bagi bangkitnya kanak-kanak pengarang di negeri ini. FLP membuat menulis dan bersastra tak lagi menjadi kegiatan ekslusif milik kaum cendekia. FLP menjadi satu-satunya organisasi pengarang yang berhasil membentuk rantai tak putus antara  pengarang-penerbit-pembaca-pengarang.
Makalah ini akan mengetengahkan sejarah, konsep, gerakan FLP di Indonesia dan mancanegara.

Pendahuluan
Forum Lingkar Pena sangat fenomenal. FLP adalah hadiah Tuhan untukIndonesia (Taufiq Ismail)[3]
Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, jumlah penulis di Indonesia—sebagaimana jumlah pertumbuhan penduduknya--sangat besar. Pada dekade terakhir Indonesia diramaikan oleh munculnya penulis muda berusia di bawah 30 tahun serta maraknya pertumbuhan kantong-kantong sastra di Jakartadan di banyak kota besar lainnya.
Salah satu yang dianggap fenomenal adalah munculnya Forum Lingkar Pena (FLP), tahun 1997. Dalam waktu yang relatif singkat, organisasi yang memiliki cabang di hampir 30 propinsi dan di mancanegara ini telah beranggotakan sekitar 5000 orang, hampir 70% anggotanya adalah perempuan. Dari jumlah ini, 700 diantaranya menulis secara aktif di berbagai media. Mereka berusaha membina 4300 anggota FLP lainnya untuk menjadi penulis pula. Selama sepuluh tahun keberadaannya, organisasi penulis ini telah menerbitkan lebih dari 600 buku yang sebagian besar terdiri dari karya fiksi maupun non fiksi untuk dewasa, remaja dan anak.
Tidak ada orang atau lembaga yang mensponsori FLP. Kemandirian tersebut memungkinkan FLP menulis sesuai kata hati. Koran Tempo, salah satu media berwibawa di Indonesia, menyebut FLP sebagai sebuah ‘Pabrik Penulis Cerita’!

Sejarah Berdirinya FLP
Tahun 1997 saya mengajak Asma Nadia, Muthmainnah serta beberapa teman dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia bertemu di Mas­jid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia. Pertemuan berlanjut dengan diskusi tentang minat membaca dan menulis di kalangan para remaja Indonesia. Percakapan tersebut sampai pada kenyataan semakin mendesaknya kebutuhan masyarakat akan bacaan yang bermutu. Di sisi lain sebenarnya banyak anak muda yang mau berkiprah di bidang penulisan, tetapi potensi mereka kerap tak tersalurkan atau intensitas menulis masih rendah, di antaranya karena tiadanya pembinaan untuk peningkatan kualitas tulisan. Lebih dari itu, semua yang hadir menyadari betapa efektifnya menyampaikan gagasan melalui tulisan.
Akhirnya yang hadir sepakat untuk membentuk organisasi kepenlisan. Maka pada tanggal 22 Februari 1997 berdirilah Forum Lingkar Pena, sebagai badan otonom Yayasan Prima[4], dan saya terpilih sebagai Ketua Umum. Saat itu anggotanya hanya 30 orang saja. Kami pun mengadakan acara rutin pekanan dan bulanan berkaitan tentang penulisan untuk anggota, dengan mengundang beberapa pakar di bidang tersebut. Kami mengadakan bengkel penulisan  kecil-kecilan.
Tahun 1998, seorang penulis muda dari Kalimantan Timur: Muthi Masfufah, mendirikan FLP Wilayah Kalimantan Timur yang berpusat di Bontang serta cabangnya di Samarinda, Balik Papan, Tenggarong dan kemudian Sangata. Inilah kepengurusan wilayah pertama dalam sejarah FLP. Pada tahun 1999, mulai banyak permintaan dari daerah, untuk membentuk kepengurusan FLP di tiap provinsi.
Majalah Annida—sebuah majalah fiksi Islami bertiras sekitar seratus ribu eksemplar perbulan—yang saya pimpin pada waktu itu, menjadi salah satu sarana bagi munculnya karya-karya anggota FLP. Majalah tersebut juga membuat rubrik khusus berisi info FLP dan menjadi sarana merekrut anggota baru. Yang mengejutkan, lebih dari 2000 orang mendaftar menjadi anggota melalui Annida.Ditambah lagi, sampai tahun 2003, berdasarkan masukan dari tiap wilayah, tak kurang dari 3000 orang telah mendaftarkan diri pula melalui berbagai acara yang digelar oleh perwakilan-perwakilan FLP di seluruh Indonesia dan mancanegara.
Dari jumlah itu, sekitar 700 adalah penulis aktif. Mereka tinggal di lebih dari 125 kota di Indonesia. Banyak di antara mereka meraih penghargaan dalam berbagai lomba penulisan tingkat provinsi, nasional bahkan internasional. Sekitar 75% penulis majalah Annida, bergabung dalam FLP. Lalu ada pula sekitar ratusan pengelola dan penulis buletin atau media kampus. Kebanyakan anggota FLP adalah pelajar dan mahasiswa. Ada juga pegawai negeri, karyawan swasta, buruh, ibu rumah tangga, guru, petani,  dan lain-lain.
FLP adalah organisasi inklusif. Keanggotaannya terbuka bagi siapa saja tanpa memandang ras maupun agama.[5] Mayoritas anggota FLP memang muslim, namun tingkat pemahaman keislaman mereka tidak seragam. Banyak pula non muslim yang bergabung. Meski demikian para anggota FLP memiliki niat yang sama: membagi seberkas cahaya bagi para pembaca dan menganggap kegiatan menulis adalah bagian dari ibadah.
Anggota FLP termuda saat ini berusia 4 tahun dan tertua 69 tahun. "Muda" dalam FLP lebih ditekankan pada aspek semangat, bukan usia, meski kebanyakan anggota FLP memang berusia sekitar 15-25 tahun. Namun sejak awal tahun 2004, beberapa FLP wilayah, antara lain DKI, Jawa Barat dan Kaltim membuka “FLP Kids” untuk anak berusia 5-12 tahun.
Banyak penulis muda dan calon penulis yang kemudian menjadi pengurus FLP di tingkat propinsi pada masa awal,. Di daerah-daerah yang belum ada kepengurusan, selalu terdapat koresponden FLP.
Teman-teman yang tengah melanjutkan pendidikan atau tinggal di luar negeri pada waktu itu, kemudian membuka kepengurusan FLP atau paling tidak menjadi koresponden FLP di negara tersebut seperti Muthmainnah (Inggris), A Rifanti (Amerika Serikat), Hadi Susanto (Belanda), Ikhwan Arifin (Sudan), Ummu Itqon (Canada), Femina Sagita (Jepang), Sera Revalina (Singapura), Ahmad Muhajir (Korea), Lulu Naning (Pakistan), dan banyak lagi yang lainnya. Habiburahman El Shirazy dan Fera Andriani Jakfar (Mesir) juga membentuk kepengurusan FLP Mesir dan sering bekerja sama dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Organisasi Satuan (istilah lain untuk cabang –penulis) Mesir. Yang lebih mengharukan, para TKW Indonesia di Hongkong, mendirikan pula FLP Hongkong, 16 Februari 2004. Semua anggotanya adalah pembantu rumah tangga. Kini mereka telah menerbitkan beberapa buku secara perseorangan maupun kelompok. Buku-buku mereka sebagian besar mengangkat persoalan buruh migran perempuan.

 

Konsep Forum Lingkar Pena

Sebenarnya konsep apakah yang diusung oleh Forum Lingkar Pena dalam dunia kepengarangan di Indonesia?
Saya kira konsep tersebut dapat terlihat pada visi, misi dan program kerja FLP.
Visi FLP yaitu membangun Indonesia cinta membaca dan menulis serta membangun jaringan penulis berkualitas di Indonesia. FLP sepakat untuk menjadikan menulis sebagai salah satu proses pencerahan masyarakat/ummat.
Misi FLP di antaranya: (1) Menjadi wadah bagi penulis dan calon penulis, (2) Meningkatkan mutu dan produktivitas (tulisan) para anggotanya sebagai sumbangsih berarti bagi masyarakat, (3) Turut meningkatkan budaya membaca dan menulis, terutama bagi kaum muda Indonesia, (4) Menjadi organisasi yang turut membidani kelahiran penulis baru dari daerah di seluruh Indonesia.

Program Kerja FLP:

1.                  Mengadakan pertemuan rutin (bulanan) bagi para anggotanya dengan mengundang pembicara tamu dari kalangan sastrawan, jurnalis atau cendekiawan
2.                  Pelatihan penulisan mingguan
3.                  Mengadakan diskusi/seminar tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kepenulisan atau situasi kontemporer
4.                  Mengadakan bengkel-bengkel penulisan
5.                  Aktif mengirimkan tulisan ke berbagai media massa
6.                  Menerbitkan buletin dan majalah
7.                  Membuat skenario teater, sinetron, film, dan lain sebagainya
8.                  Kampanye Gemar Membaca dan Menulis ke SD, SMP, SMU, pesantren dan universitas di Indonesia secara berkala
9.                  Mengadakan berbagai sayembara penulisan untuk pelajar, mahasiswa dan kalangan umum
10.              Pemberian Anugerah Pena
11.              Pelaksanaan program Rumah Cahaya (Rumah baCA dan HAsilkan karYA) di berbagai tempat di Indonesia
12.              Kampanye "Sastra untuk Kemanusiaan" (Salah satunya dengan penerbitan Antologi Cinta, yaitu buku-buku yang ditulis bersama. Seluruh penjualannya diberikan pada program kemanusiaan)
13.              Menerbitkan minimal 10 buku karya para anggota perbulannya, dan lain-lain.

Sistem Pembinaan
Asas pembinaan bagi anggota-anggota FLP adalah kebersamaan, kontinuitas dan kompetensi. Kebersamaan berarti tidak mementingkan karya atau kemajuan diri sendiri, kontinuitas berarti secara kontinyu berkarya dan membina, serta kompetensi berarti setiap anggota akan berkarya sebaik mungkin, meningkatkan kualitas karya dan memiliki kejelasan arah serta tujuan dalam mencerahkan masyarakat.[6]
Dengan sistem keanggotaan yang berjenjang memungkinkan para anggota yang memiliki tingkat lebih tinggi memberikan pembinaan kepada anggota dibawahnya. Jenjang keanggotaan tersebut terdiri dari anggota muda, madya dan andal. Anggota muda adalah mereka yang memiliki keinginan kuat, ketekunan untuk menulis namun belum memiliki pengalaman dan pengetahuan menulis. Anggota madya yaitu mereka yang telah menghasilkan karya di media massa lokal atau atau nasional atau pernah memenangkan sayembara penulisan tingkat daerah, namun belum cukup aktif menulis. Anggota andal yaitu mereka yang aktif menulis di berbagai media, telah membukukan karya-karyanya, pernah menjuarai sayembara penulisan tingkat nasional dan atau menjadi akademisi pada bidang sastra (kritikus) atau bidang komunikasi (jurnalistik), sering menjadi pembicara dalam berbagai acara yang berkaitan dengan penulisan.[7]
Selain sistem pembinaan yang berlapis, FLP juga menerapkan sistem rekomendasi bagi karya-karya penulis muda yang layak diterbitkan. Para anggota FLP yang telah  mempunyai nama, mengenalkan nama-nama lain – penulis FLP yang layak menerbitkan buku – setiap bertemu penerbit. Bentuk support yang lain adalah dengan memberikan endorsement di belakang karya-karya mereka, memberikan pengantar buku atau memberikan satu cerpen dalam antologi (kumpulan cerpen) bersama penulis-penulis baru. Dalam perkembangan selanjutnya, nama-nama yang ikut bergabung dalam antologi tersebut produktif pula menghasilkan karya-karyanya sendiri dan menjelma “mentor-mentor” baru yang kembali berkeliling sebagai relawan, turut membidani kelahiran penulis baru dan membantu menggodok penulis lain agar bisa meningkatkan kualitas karya mereka.[8]

FLP dan Sastra Bernuansa Islam

Karena FLP berawal dari majalah Annida, sebuah majalah fiksi Islami, maka FLP kerap diidentikkan sebagai komunitas yang mengusung jargon sastra Islami, meski secara resmi, FLP tak pernah mendeklarasikan hal tersebut.
Menurut Shauqi Dhaif, adab (sastra) adalah karya yang dapat membentuk ke arah kesempurnaan kemanusiaan, yang didalamnya terkandung ciri estetika dan kebenaran.[9]  Dalam Islam, sastra haruslah mendorong hasrat masyarakat untuk menjadi pembaca yang baik. Masyarakatlah yang menjadi target utama pemahaman kesusastraan. Jadi sastra Islam lebih kepada pembentukan jiwa.

Penilaian apakah karya tersebut dapat disebut sastra Islam atau bukan tidak dilihat pada karyanya semata, namun juga pribadi pengarang, proses pembuatannya hingga dampaknya pada masyarakat. Sastra bagi pengarangnya adalah ibadah, pengabdian yang harus dipertanggungjawabkan pada umat dan Allah. Bahrum Rangkuti bahkan pernah berkata :"Bila Anda ingin menulis karya sastra Islam, anda harus terlebih dahulu menjadi sastrawan yang beriman serta merealisasikan keimanan dan keislamannya melalui amaliyah yang nyata."[10]
Secara resmi, Komunitas FLP tidak pernah mengklaim bahwa karya-karya para anggotanya  adalah karya sastra Islam. Memang banyak di antara anggota yang (mencoba) menulis karya sastra bernuansa Islami atau sastra Islami, namun apakah benar karya mereka adalah sastra Islam atau Islami atau apapun, bagi FLP bukan menjadi persoalan. Yang penting bagaimana karya-karya tersebut mengambil bagian dalam proses mencerahkan para pembacanya. Di sini peran sastra yang sebenarnya diinginkan oleh Islam yaitu turut mengambil bagian dalam mengatasi kerusakan akidah dan ahlak masyarakatnya.[11] 
Dengan demikian, para anggota FLP, baik yang muslim maupun non muslim secara tak tertulis bersepakat untuk:
1.  Menulis demi kemaslahatan, tanpa mengabaikan estetika.
Artinya, karya anggota FLP selalu dalam kerangka kebaikan dan manfaat. Karyanya tidak akan (tidak boleh) menambah buruk keadaan masyarakatnya.
2. Bertanggung jawab atas apa yang ditulis (pengarang tak pernah mati).
Seluruh anggota FLP bertanggung jawab atas karya mereka bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Pada saat karya tersebut menjadi “milik publik”, pengarang tetap “hidup” dan siap bertanggung jawab atas karyanya. Teks dan pengarang menjadi suatu kesatuan yang sukar untuk dipisahkan.
3. Pengarang sebagai teladan masyarakat
Menurut Maman S. Mahayana dan Joni Ariadinata, ketika masyarakat masih terperangkap pada pandangan bahwa dunia sastra dan kehidupan sastrawannya adalah dunia yang penuh kebebasan, urakan, eksentrik, dan berbagai pandangan buruk lainnya, FLP menampilkan diri dengan citra yang sebaliknya. Di sinilah keteladanan menjadi penting dalam membangun citra sebuah organisasi atau komunitas.[12]
Tentang penulis-penulis FLP, Sunarwoto mengungkapkan sebagai berikut :
‘… karya mereka sebenarnya tidak jauh beda dengan cerpen-cerpen Indonesia kotemporer yang sudah ada. Sarat dengan tema sosial, budaya, adat, cinta dan semangat penentangan terhadap rezim yang korup. Bedanya, mereka lebih suka membungkus karyanya dengan diksi-diksi yang lembut, santun dan mendidik. Tak ada sepotong narasi dan dialog pun yang muncul dengan bahasa kasar. Juga tidak begitu murahan mengumbar kecabulan…”[13]

Gerakan Pesat Meski Minim Dana
Meski minim dana[14], kegiatan-kegiatan FLP tak pernah berhenti. Hampir setiap minggu ada saja acara kepenulisan yang diadakan oleh FLP, baik pada kepengurusan pusat, wilayah (propinsi), cabang (kota, kabupaten) atau ranting.[15] Saya sendiri hampir tiap minggu harus ke luar provinsi untuk menghadiri acara-acara yang diadakan FLP di sana.
Untuk program penerbitan buku FLP telah bekerja sama dengan para penerbit seperti Syaamil (Bandung), Mizan (Bandung), Era Intermedia (Solo), D & D Publishing House (Solo), Lapena (Banda Aceh), Pustaka Annida (Jakarta), FBA Press (Depok), Gunung Agung (Jakarta), Pustaka Ummat (Bandung), Zikrul Bayan (Jakarta), Ghalia (Jakarta), Gramedia (Jakarta), Senayan Abadi (Jakarta), Wisata Hati (Jakarta), Cakrawala (Jakarta), MVP (Solo), Indonesia Tera (Magelang), Hikmah (Jakarta), Cinta (Jakarta), dan masih banyak lagi. Tahun 2003 bersamaan dengan terbentuknya Yayasan Lingkar Pena yang menjadi badan hukum FLP[16], FLP membuat penerbitan sendiri yang diberi nama: Lingkar Pena Publishing House.
Selama sepuluh tahun keberadaan FLP, sekitar 600 buku karya rekan FLP terbit dan pemasarannya tergolong bagus. Karena itu kini semakin banyak penerbit dari berbagai kalangan yang  mengajak FLP bekerjasama dalam usaha penerbitan buku.
Uniknya, rekan-rekan muda FLP di beberapa propinsi juga mengumpulkan naskah dan menerbitkan buku karya para penulis daerah mereka. Misalnya bukuDoa Untuk Sebuah Negeri karya FLP Aceh (Syaamil, 2001), Atas Nama Cinta, karya FLP Bandung (Syaamil, 2000) atau Salsa Tersayang (Syaamil, 2000) dan Tarian Sang Hudoq (Syaamil 2002), karya FLP Kalimantan Timur,Kucing Tiga Warna karya FLP Sumatera Selatan (Syaamil, 2002), Jatuh Cinta Pada Bunga karya FLP Surakarta (Era Intermedia, 2002), Karma Sang Srigalakarya FLP Semarang (Era Intermedia, 2002), Lihatkan Bintang Untukku karya FLP Yogyakarta (Mizan, 2003), Surga yang Membisu karya FLP Depok (Zikrul Hakim, 2003), Kutemukan Warna karya FLP Mesir (Mizan, 2003) dan masih terlalu banyak untuk disebutkan.
Cermin dan Malam Ganjil (FBA Press, 2002) adalah antologi cerpen bersama FLP yang didedikasikan bagi sastrawan senior Yusakh Ananda. Seluruh honor pengarang diserahkan langsung saat milad (ulang tahun –penulis) FLP tahun 2002 lalu, kepada Ibnu HS (Ketua FLP Kalimantan Barat), mewakili Sastrawan Yusakh Ananda (waktu itu 68 th).
Sebelumnya FLP juga membuat kumpulan cerpen bersama: Ketika Duka Tersenyum (FBA Press, 2002) yang seluruh penjualannya didedikasikan bagi Pipiet Senja, pengarang prolifik pengidap thalassemia. Buku lainnya: Doa untuk Sebuah Negeri (Syaamil, 2000) adalah karya para perempuan pengarang FLP Aceh yang berusia 18-28 tahun. Buku tersebut didedikasikan bagi para anak, janda dan pengungsi Aceh. Buku Merah di Jenin (FBA Press, 2002) yang merupakan 'keroyokan' para pengarang FLP nusantara juga FLP Mesir didedikasikan bagi anak-anak Palestina. Meski bukunya baru diluncurkan, FLP menyumbangkan seluruh royalti buku untuk anak-anak Palestina tersebut, melalui MER-C (organisasi bantuan medis sukarela –penulis).
Bekerjasama dengan lima penerbit, FLP memprakarsai gerakan “menyumbang dengan cerpen”, yaitu penggalangan dana bagi korban gempa-tsunami di Aceh dengan cara menyumbang cerpen. Alhamdulillah langsung terkumpul dana 40 juta dimuka, untuk lima buku yang kemudian diterbitkan. Penerbitan buku-buku seperti itu menjadi salah satu bagian dari program kampanye "satra untuk kemanusiaan" yang akan terus dilakukan FLP melalui “antologi cinta”.
Di luar hal tersebut, kini di setiap kota yang memiliki cabang FLP, secara bertahap mulai didirikan Rumah-rumah Cahaya (rumah baCA dan HAsilkan karYA). Tempat tersebut bukan sekadar taman bacaan, melainkan juga tempat latihan menulis—gratis--bagi kalangan tak mampu. Rumah Cahaya FLP Aceh bahkan menjadikan membaca dan menulis sebagai salah satu bentuk terapi bagi korban DOM dan tsunami.

FLP yang Fenomenal
Berbagai pendapat muncul tentang FLP dalam kaitannya dengan kesusastraan Indonesia kontemporer. Dari segi pembinaan banyak pihak yang menyatakan salut terhadap upaya yang dilakukan FLP. Namun dari segi kualitas karya sebagian besar rekan FLP memang masih dianggap para kritikus sastra sebagai pemula yang akan terus bermetamorfosis.[17]
 Perlu disadari bahwa hampir semua anggota FLP pada awalnya hanyalah calon penulis, bukan penulis/sastrawan yang sudah jadi. Para anggota FLP juga tidak tumbuh bersama sejumlah nama besar yang menempel di belakangnya.  Jadi ketika dari belum bisa menulis, kemudian mereka menulis dan mampu menerbitkan buku (rata-rata pada usia bawah 25 tahun), bukankah itu suatu pencapaian yang luar biasa? Kita mengharapkan mereka terus belajar, berproses menjadi penulis yang lebih berkualitas lagi. Tidakkah hal itu merupakan langkah awal yang sangat baik dan layak diapresiasi?
Republika menulis bahwa bagaimana pun FLP membawa fenomena baru dalam penulisan sastra religius kontemporer dan peduli terhadap kemunculan penulis baru dari berbagai kalangan di Indonesia. Karya-karya FLP juga mendapat perhatian dan penghargaan dari para peminat sastra.[18] Harian The Straits Times yang terbit di Singapura menyebut FLP sebagai kelompok fenomenal yang terus menerus melakukan training, workshop dan aneka kegiatan lainnya tanpa henti untuk mendukung lahirnya penulis baru.[19] Koran Tempo bahkan menjuluki pendiri dan Ketua Umum FLP sebagai ‘Lokomotif Penulis Muda Indonesia’.[20]Berbagai kalangan di Indonesia sepakat bahwa Forum Lingkar Pena telah memberikan sumbangsih dan kontribusi berarti dalam dunia kesusastraan Indonesia.[21] Selain itu FLP telah turut memberdayakan ekonomi para anggotanya ketika karya-karya mereka dimuat di media massa dan diterbitkan secara nasional.
Maka tiba-tiba saya kembali teringat Galang Lufityanto, pemuda Yogya, kelahiran 1981 yang menulis karya fiksi sama baiknya dengan karya ilmiah, yang berkali-kali menjadi juara I dalam berbagai lomba penulisan tingkat nasional dan telah menerbitkan bukunya: Bisikan dari Langit ( Mizan, 2001) dan Tidak Hilang Sebuah Nama (Era Intermedia, 2002). Bersama teman-teman FLP Yogya, Galang membuat konsep pelatihan penulisan empatik, yang mempercepat lahirnya para penulis anggota FLP di sana.
Lalu Sakti Wibowo, mantan buruh pabrik roti yang cerdas dan telah menulis puluhan buku, di antaranya Tanah Retak (Syaamil, 2003), novel sejarah menjelang perang Jawa 1825-1830.  Saya terbayang Agustrijanto yang karyanyaTonil Nyai di Ujung Senapan (Syaamil, 2001) dan Wiracarita Adi Cenik(Syaamil, 2002) dibuat dengan perpaduan riset luar biasa dan jalinan cerita yang indah.
Saya teringat pelajar sederhana, Meldy Muzada Elfa dari Barabai, yang dalam usia 14 tahun (kelas 2 SMP) telah menerbitkan dua buku fiksi dan berkali-kali menjadi pelajar teladan se-Kalimantan Selatan. Lalu Syamsa Hawa, si juara kelas, yang dalam usia 13 tahun telah menulis puluhan cerpen dan pada usianya yang ke 14 tahun menerbitkan bukunya Di Balik Cahaya Rembulan (Era Intermedia, 2001).
Adzimattin Nur yang menulis buku pertamanya dalam usia 13 tahun dan hanya dalam waktu dua tahun kemudian ia sudah menghasilkan 7 buku!  Abdurahman Faiz yang menerbitkan dua buku puisinya dalam usia 8 tahun. Kini dalam usia 11 tahun ia sudah menerbitkan 6 buku dan 5 antologi bersama, serta meraih 9 penghargaan tingkat nasional. Salsabila yang buku kumpulan cerpen pertamanya terbit saat ia berusia 7 tahun, Adam Putra Firdaus yang mencatatkan karyanya dalam antologi cerpen saat berusia 5 tahun. Mereka bangga disebut pelopor FLP Kids.
Saya ingat Asma Nadia yang dua bukunya: Rembulan di Mata Ibu (Mizan,
2000) dan Dialog Dua Layar (Mizan 2001) menjadi buku terbaik tingkat
na­si­o­nal versi Adikarya Ikatan Penerbit Indonesia 2001-2002 yang membawanya sebagai pengarang terbaik tingkat nasional IKAPI. Ia juga Pengarang terbaik versi Penerbit Mizan, 2003 dan pengarang muda yang menerima hadiah Mastera untuk karyanya Derai Sunyi (2004). Asma  menulis 10 buku dalam satu tahun! Buku-bukunya langsung mengalami cetak ulang saat baru satu bulan terbit. 
Ia baru kembali dari Korea, mewakili Indonesia dalam pertemuan sastra di sana.
Ada juga Ninik Handrini yang dalam usia 25 tahun telah menulis lebih dari 30 buku cerita anak. Saya terkenang Muthmainnah, yang kini tinggal di Inggris. Karyanya: Pingkan Sehangat Mentari Musim Semi (Syaamil, 1998) terus mengalami cetak ulang sampai sekarang.
Saya terbayang Nurhadiansyah, Ketua FLP Depok, seorang koki muda yang bekerja pada sebuah kafe di Jakarta. Ia menulis dengan sangat indah dan tengah mempersiapkan buku pertamanya yang saya kira akan mencengangkan banyak pembaca. Lalu ada Alimudin di Lhokseumawe, Wildan Nugraha di Bandung, dan Ragdi F. Daye di Padang. Saya mengikuti perkembangan mereka yang pesat, sejak mereka mulai menulis cerpen remaja hingga cerpen-cerpen yang serius. Wina Karnie dan Swastika Mahartika, pengurus FLP Hong Kong yang menjadidomestic helper di sana juga memiliki karya-karya yang boleh diadu secara estetika.
Saya bangga pada Tary yang selalu saja memenangkan sayembara penulisan cerpen tingkat nasional tiap tahunnya. Juga pada  Habiburrahman El Shirazy, mantan Ketua FLP Mesir yang karyanya Ayat-Ayat Cinta (Republika 2004) mendapat sambutan luar biasa dari berbagai kalangan, pada Tasaro (Taufiq Saptoto Rohadi) yang novel dan tulisannya kerap mendapat banyak penghargaan nasional, antara lain Di Serambi Mekkah (DAR! Mizan) sebagai cerita remaja terbaik Adikarya IKAPI 2006.
"Tentu saja kita ingin banyak penulis di negeri ini. Dengan adanya FLP ini
akan menjadi kerja yang sinergis," kurang lebih kata-kata itulah yang terucap dari bibir para penulis muda itu, saat pertama kali bergabung dengan FLP.

Penutup
Dalam perdebatan di mailing list penyair@yahoogroups.com, beberapa penyair mengatakan bahwa penulis yang mendirikan dan ikut dalam suatu komunitas adalah mereka yang tidak percaya diri dan takut untuk tampil sendirian. Ada juga sastrawan yang menyatakan bahwa sebagai sastrawan kita tak akan pernah bisa merdeka menulis, bila berada dalam suatu komunitas.
Benarkah demikian?
FLP membuktikan keberadaannya adalah untuk saling memajukan serta membantu membidani kelahiran para penulis pelapis. Di FLP, para anggotanya merdeka untuk menulis apa saja, namun tetap dengan mengedepankan nurani.[22]
FLP juga gembira dengan kian menjamurnya  komunitas sastra di berbagai pelosok negeri dan siap bekerjasama memajukan budaya membaca dan menulis di negeri ini. 
Setelah tahun demi tahun berlalu, semoga apa yang dilakukan Forum Lingkar Pena sebagai gerakan budaya, gerakan kemanusiaan, bisa memberi sumbangsih bagi kemajuan peradaban bangsa.
 Seperti yang dinyatakan Maman S. Mahayana, “Dalam sejarah sastra Indonesia, belum ada satu pun organisasi atau komunitas (sastra) yang kiprah dan kontribusinya begitu menakjubkan, sebagaimana yang pernah dilakukan FLP. FLP telah membuat catatan sejarah sastra Indonesia dengan tinta emas!”[23] 
Semoga!


 
DAFTAR PUSTAKA


Al Faruqi, Ismail Raja, Cultural Atlas of IslamNew York, Mc Millan, 1986

Audah, Ali, Dari Khazanah Dunia Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta , 1999

Rosa, Helvy Tiana (ed.), Matahari Tak Pernah Sendiri; Kisah Seru Aktivis FLP, Lingkar Pena Publishing House, 2004

Rosa, Helvy Tiana, Segenggam Gumam Esai-Esai tentang Sastra dan Kepenulisan, As-Syamil, 2003

“Beneath The Burqah,” Paul Watson, Los Angeles Times, 23 Februari 2007.

“Fenomena Forum Lingkar Pena”, Maman S. Mahayana, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Besar 10 Tahun Forum Lingkar Pena, di Jakarta, Februari 2007

“FLP Gigih Lahirkan Penulis Muda,” Republika, 20 September 2002

“Fiction with Islamic Theme Selling Well in Indonesia,” The Straits Times, 28 Juli 2002

"Helvy Tiana Rosa, Lokomotif Penulis Muda", Koran Tempo, Maret, 2003

"Helvy Tiana Rosa Hasilkan 20 Buku Lebih", Suara Muhammadiyah No. 1 th ke-88, 1- 15 Januari 2003

“Helvy Tiana Rosa, Sebuah Potret Pertarungan Idealisme dan Kapital dalam Perkembangan Sastra Kontemporer di Indonesia,” Twediana Budi Hapsari, Makalah, Desember 2003.

"Menandai Kebangkitan Fiksi Islami", Sunarwoto Prono Legsono, Republika, 24 Agustus 2003

“Menyemai Bintang di Padang Ilalang; Tentang Regenerasi Sastra Indonesia”, Jamal D. Rahman, Makalah, Pertemuan Sastrawan di Singapura, 13 september 2003.






[1] Makalah ini disampaikan pada Konferensi Internasional HISKI, di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 8 Agustus 2007
[2] Pengarang, Pendiri FLP, kini adalah Ketua Majelis Penulis FLP, Dosen FBS- Universitas Negeri Jakarta, dan Direktur Lingkar Pena Publishing House
[3] Disampaikan pada Milad FLP tahun 2002 di Jakarta
[4] Yayasan Prima berubah nama menjadi Yayasan Lingkar Pena, Desember 2003.
[5] Inklusivisme FLP dalam soal agama tampak ketika FLP menyelenggarakan Sayembara Novel FLP 2005. Pemenang kedua sayembara itu jatuh pada novel berjudul Gadis Kunang-Kunang karya Olyrinson, sastrawan muda Riau (baca: Melayu) keturunan Tionghoa beragama Kristen. Olyrinson sendiri menyatakan bahwa FLP adalah komunitas yang keanggotaannya terbuka untuk setiap orang dan tidak ada kaitannya dengan persoalan agama, etnik, dan usia.
[6] Sistem Pembinaan Forum Lingkar Pena
[7] Helvy Tiana Rosa, Segenggam Gumam Esai-Esai tentang Sastra dan Kepenulisan, As-Syamil, Bandung, 2003, hal 51
[8] Kisah-kisah menggugah dan mengharukan mengenai kegiatan dan para relawan FLP dapat dibaca pada buku Matahari Tak Pernah Sendiri; Kisah Seru Aktivis FLP (Jilid I dan II), Lingkar Pena Publishing House, Depok, 2004.
[9] Ismail Raja Al Faruqi. Cultural Atlas of Islam, New York, Mc Millan, 1986, hal 29

[10] Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta , 1999 hal 283
[11] Ibid
[12] Maman S. Mahayana dalam makalahnya “Fenomena Forum Lingkar Pena”, disampaikan dalam Diskusi Besar 10 Tahun Forum Lingkar Pena, di Jakarta, Februari 2007
[13] Sunarwoto, Op.Cit.
[14] Dana FLP lebih banyak berasal dari iuran anggota Rp 2500/bulan--- yang tak selalu rutin dibayarkan
[15] Ranting FLP adalah sebutan untuk kepengurusan FLP di sekolah, pesantren atau universitas.
[16] Sebelumnya FLP adalah Badan Otonom dari Yayasan Prakarsa Insan Mandiri, Jakarta.
[17] Penyair Beni R. Budiman sebelum meninggal mengatakan banyak muncul ‘mualaf’ sastra dari FLP. Penyair Jamal D. Rahman menyebut FLP sebagai tempat menempa penulis remaja untuk kemudian menjadi sastrawan yang diperhitungkan.
[18] Februari 2003: “FLP Gigih Lahirkan Penulis Muda”
[19] 28 Juli 2002: “Fiction with Islamic Theme Selling Well in Indonesia
[20] “Helvy Tiana Rosa, Lokomotif Penulis Muda”, Koran Tempo, Maret, 2003.
[21]  www.cybersastra.net
[22] Koko Nata Kusuma, Tasaro, Wina Karnie dan anggota FLP yang lain misalnya, berani menulis hal yang berkaitan dengan persoalan seks---hal yang terkesan dihindari sebagian besar anggota FLP. Meski demikian tulisan mereka tidak terkesan vulgar karena kaya dengan metafor.

[23] Maman S. Mahayana, Op.Cit.

sumber : http://helvytr.multiply.com/journal/item/5  (blog Helvy Tiana Rosa, Pendiri FLP)