Oka Rusmini |
Sabtu, 2 November 2013. Itu kali pertama kami, Tim FLP
Bali, menyambangi sebuah kantor media cetak terbesar di Pulau Dewata,
Bali Post. Rupanya aktivitas media ini sama sekali tidak mengenal waktu
istirahat, bahkan malam hari sekalipun. Maklumlah media cetak, sekuat tenaga
mengejar sekian banyak deadline yang
harus diselesaikan sebelum berita hangat muncul di koran keesokan paginya. Bagi seorang Oka Rusmini sekalipun,
menikmati malam minggu secara utuh ditemani artikel, cerpen, puisi, bahkan
mesin cetak untuk menyempurnakan kolom sastra di media itu sudah bagaikan hobi
saja.
Dari kami, yang beruntung dan dapat bertemu
langsung dengan ibu Oka ada 14 orang,
90%-nya adalah Perempuan. Tidak ada yang salah dari jumlah kami, hanya
saja 14 orang bukan jumlah yang sedikit untuk ditampung perpustakaan Bali Post.
Kami duduk merapat dan semakin dekat dengan Penulis Bali yang penuh karakter
feminis dalam setiap novelnya itu. Ya, beliau hanya seorang ibu dengan satu
anak, yang masih produktif menulis dan konsen menuangkan kebudayaan Bali dalam
karyanya.
Tanpa prolog, beliau menyampaikan bahwa
sebenarnya tidak perlu berkunjung jika hanya untuk mencuri ilmunya. Media
sosial sudah menjadi fokus utamanya untuk terus berbagi ilmu menulis. Bahkan
media internet sudah menjadi guru dan informan yang baik untuk penulis pemula
dapat mulai mengamalkan goresan penanya. Ah, beliau terlalu bersahaja untuk
ukuran seorang penulis yang gudangan karyanya sudah dimuat di berbagai media. Selain itu, tak sedikit penghargaan
nasional dan internasional yang
dirahinya.
Ibu Oka yang bernama asli Ida Ayu Oka
Rusmini ini, mengaku belum lama mengenal FLP meskipun sudah lama mengenal Mbak
Helvy Tiana Rosa. Beliau mengaku senang dan bangga, dengan adanya komunitas kepenulisan ini untuk terus tumbuh memunculkan
kader-kader penulis yang berkualitas. Apalagi komunitas tersebut juga ada di
Bali, dan sebagian besar anggotanya perempuan. “... Jujur saya baru tahu ada FLP, apalagi
anggotanya banyak perempuan, karena sangat jarang penulis dari kalangan
perempuan saat ini. Dan tentu hal ini sangat dibutuhkan bagi dunia sastra
Indonesia…” ujarnya.
Menurut pengakuan beliau tidak diperlukan
tips khusus untuk menulis. Intinya hanya terus belajar dengan cara membaca
berbagai macam karya dan terus menulis. Disiplin dalam mengatur waktu juga
menentukan seberapa serius kita dalam menghasilkan karya. Segala bentuk
aktivitas dan kesibukan beliau sebagai istri, ibu, dan pekerja media tidak
menjadi alasan untuk berhenti berkarya.
“Menulis
dapat dimulai dengan menulis hal-hal yang sederhana di sekitar kita, tanpa
harus membebani diri dengan ide-ide besar terhadap berbagai karya yang muncul
di pasaran. Media sosial juga bisa kita gunakan sebagai sarana untuk terus
belajar menambah kosakata bahasa, sehingga karya-karya yang nantinya dihasilkan
sudah memiliki kekayaan bahasa. Dan saya juga tidak pernah merasa malu untuk
terus belajar dari karya-karya anak muda, seperti Benny Arnas…”
Ketika disinggung seputar kerapnya
kontroversi budaya Bali yang beliau munculkan di dalam karya-karyanya, beliau
hanya mengungkapkan bahwa ia hanya melakukan revisi budaya. “…hal ini sama
sekali tidak ada kaitannya dengan agama. Kami, penulis, hanya ingin melakukan
revisi terhadap kebudayaan yang sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang.
Bukan melakukan perubahan secara utuh, tapi inilah upaya kami. Memberikan
pengetahuan kepada semua orang bahwa kebudayaan tidak harus dilanjutkan dengan
seperti ini….”
Ibu kelahiran Jakarta, 11 Juli 1967, ini juga mengaku tidak
terlalu menghiraukan riak-riak yang muncul di lingkungan masyarakat Bali
terhadap tulisan-tulisannya tersebut. Baginya kecaman-kecaman itu datang justru
karena mereka belum membaca bukunya secara detil. Buku Tarian Bumi karyanya,
yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman dan Inggris sudah dilakukan
dengan riset mendalam selama lima tahun. Isi karyanya juga tidak seperti yang
selama ini dibicarakan. Jadi beliau tetap survive
dengan karyanya tersebut dan terus menulis hal-hal serupa hingga akhirnya kini
benar-benar diterima di Indonesia bahkan mancanegara. Tidak sedikit
karya-karyanya yang dijadikan rujukan dan objek penelitian dalam skripsi atau
karya ilmiah sejenis di Perguruan Tinggi Nasional.
Akhir perjumpaan beliau mengaku akan terus
menulis karya yang bertemakan “Perempuan”. Menurutnya, sejak era 1920an sangat
jarang ditemukan penulis yang berani mengangkat hal ini sebagai hasil karya.
Meskipun terus akan membahas tentang perempuan, ia mengaku tidak pernah
kehabisan ide. “….kita harusnya bersyukur diciptakan sebagai perempuan dengan
berbagai macam keunikannya yang tidak dimiliki laki-laki. Mulai dari bagaimana
cara seorang perempuan mengedepankan perasaan dalam pengambilan keputusan,
sampai hal-hal fisik yang menggambarkan keindahan seorang perempuan…”
Diskusi berlangsung hangat sampai sejam
lebih. Kami sudah cukup menghabiskan banyak waktu beliau yang seharusnya
digunakan untuk segera menyelesaikan tanggung jawabnya dalam mengisi 3 halaman
Koran Mingguan Bali Post esok hari. Tentunya perjumpaan ini akan menjadi
motivasi dan ilmu berharga bagi kami untuk dapat menelurkan karya-karya yang
mendidik dan berorientasi kebaikan bagi masyarakat tanpa perlu memikirkan
ide-ide pasaran. (ky)
0 komentar:
Posting Komentar